
1.
Kelahirannya tak jarang disesali, karena orang tuanya (ayah, kakek, nenek) lebih suka punya cucu laki-laki. Seorang teman bercerita betapa stress dirinya dulu, ketika anak pertamanya perempuan dan mertuanya tidak terlalu bergembira menyambut. Mereka ingin cucu laki-laki. Lalu temanku itu berusaha supaya anak keduanya laki-laki. Ikut program di spesialis kandungan. Dihitung kapan jadwal harus berhubungan, makanan apa yang harus dan tidak boleh dikonsumsi. Lalu lelah. Untunglah ketika dia pasrah, akhirnya Allah mengaruniai anak laki-laki.
Bagaimana jika ternyata anak keduanya perempuan lagi?
2.
Budaya patriarki menanamkan pada perempuan sejak kecil, bahwa tugas-tugas rumah seperti menyapu, memasak, mencuci baju; adalah kewajiban perempuan. Termasuk nanti setelah dewasa dan menikah, mengurus anak dan suami adalah kewajibannya semata. Suami, harus dilayani apa pun maunya. Tabu bagi suami mengerjakan pekerjaan rumah.
Ada istilah dalam Bahasa Jawa yang menyebut perempuan sebagai ‘kanca wingking’. Teman di belakang. Yang lebih popular adalah ‘perempuan itu tugasnya seputar dapur, sumur, kasur.’ Masak, cuci-cuci, dan ‘melayani suami’ yang ingin melepaskan hasrat seksual. Seolah perempuan sendiri tidak punya hak untuk menikmati aktivitas hubungan badan, sehingga harus siap kapan pun suami ingin, bahkan ketika istri kelelahan mengurus dapur dan sumur. Seolah perempuan tidak punya hak untuk bersenang-senang, beraktualisasi, dan mengembangkan diri.
3.
Rahim adalah karunia dengan tanggung jawab yang luar biasa. Dimulai dengan menstruasi dan segala kenikmatannya. Emosi dan rasa tubuh yang tak karuan bahkan sebelum menstruasi dimulai dan selama berlangsungnya. Sakit punggung, payudara kemeng, perut kram, diare, anemia. Dijauhi karena najisnya.
Tak sedikit yang mendapat tambahan penderitaan dengan tumbuhnya benda asing di rahimnya. Mium, kista. Menstruasinya bisa jadi lebih banyak, lebih lama hampir tanpa henti, lebih sakit.
Cuti haid dianggap ngadi-adi. Mengeluh sakit dibilang manja. Dan seringnya yang menganggap enteng derita haid adalah laki-laki: manusia yang tidak punya rahim. Dimintain tolong beli pembalut malu. Dulu, entah malu karena apa. Seolah pembalut adalah barang aib. Bahkan ketika perempuan sendiri yang beli, harus dimasukkan ke tas plastik hitam atau pokoknya tidak boleh kelihatan. Sekarang laki-laki menemu alasan baru untuk malu dititipi beli pembalut.
4.
Hamil adalah karunia dengan tanggung jawab yang luar biasa. Segala perubahan hormon dan bentuk tubuh mengacau emosi, memicu pegal, lelah. Masa ngidam yang mual, muntah, lemas. Tak jarang disertai hipertensi dan diabetes yang muncul sementara. Makin besar kandungan makin susah bergerak, berdiri salah, duduk salah, tidur miring salah, tidur mlumah begah. Gerah. Ketawa atau batuk sedikit terkencing.
Belum lagi kehamilan dengan resiko tinggi. Yang bayinya kembar, yang bayinya tumbuh di luar rahim, yang plasentanya di bawah, yang kandungannya lemah. Yang ibunya punya kondisi khusus yang membahayakan.
Melahirkan adalah perjuangan hidup dan mati. Kesakitan yang tidak bisa diceritakan. Lelah yang tidak terperi. Belum lagi kelahiran yang sulit. Yang bayinya sungsang, yang bayinya terlilit tali pusat, yang pinggulnya sempit, yang pre eklamsia.
Perempuan menikah yang tidak kunjung hamil jadi bahan pembicaraan. Orang-orang sekitar mulai dari keluarga, tetangga, sampai teman tak henti bertanya kenapa belum hamil.
Padanya tuduhan mandul pertama disematkan. Banyak laki-laki yang menganggap perempuan seperti ini sebagai sebuah kesialan. Mereka sendiri enggan memeriksakan diri, tidak percaya bahwa kemungkinan laki-lakinya yang bermasalah.
5.
Kanker serviks dan payudara adalah dua di antara penyakit pembunuh perempuan yang paling tinggi. Sering terlambat terdeteksi. Banyak yang tertolong dengan mengangkat bagian tubuh yang terkena kanker. Lalu laki-laki yang tidak punya hati berkata, ‘Perempuan sudah tidak berguna lagi kalau tidak punya rahim atau payudara.”
Menteri Kesehatan mengumumkan bahwa vaksin kanker serviks akan dijadikan sebagai salah satu vaksin wajib nasional. Berita yang disambut gembira oleh perempuan.
Tapi masih ada saja komentar negatif dari laki-laki, menganggap kewajiban vaksin adalah sebentuk penjajahan dan mencari keuntungan finansial semata. Manusia yang tidak punya serviks. Bahkan mungkin tidak tahu serviks itu apa.
6.
Pencegahan kehamilan masih lebih banyak dibebankan pada perempuan. Suntik, implant, pil, IUD. Kecuali IUD, semuanya adalah manipulasi hormon. Tubuh yang dimanipulasi, tentu tidak alami lagi. Selalu ada efek buruk yang menyertai. Bahkan IUD yang bekerja mekanis, dia ditanamkan di dalam tubuh. Membuat haid lebih deras. Bukan hal yang menyenangkan.
Sementara laki-laki, menolak vasektomi karena merasa kehilangan kejantanan. Pakai kondom pun enggan karena rasanya jadi tidak enak saat berhubungan. Betapa oh betapa. Menyuruh perempuan menanggung segala ketidaknyamanan tubuh sepanjang hari setiap hari karena pemakaian alat kontrasepsi, demi agar laki-laki tetap merasa enak menyambut ejakulasi.
***
Seorang gay (laki-laki) menceritakan bagaimana dia ikut memanfaatkan pembalut untuk kenyamanannya pada situasi tertentu. Seorang dokter yang cuitannya dibaca puluhan ribu orang mengatakan cerita itu membuat dia overthinking ketika akan membelikan pembalut untuk istrinya, sambil mengolok pilihan si laki-laki gay.
Banyak laki-laki merespon setuju. Yang sejak awal tidak mau makin tidak mau. Yang sudah mau jadi mikir ‘duh gimana kalau nanti aku beliin pembalut buat istri malah dikira gay.’
Sedihnya, ada perempuan yang setuju pendapat itu. Bahwa laki-laki yang membelikan pembalut untuk perempuan dekatnya (istri, ibu, saudara, teman) adalah hal memalukan. Bahwa perempuan tidak perlu merepotkan laki-laki untuk urusan beli pembalut. Sudah tahu siklus, bisa bersiap, blablabla.
Dengan semua hal yang harus dihadapi perempuan soal rahimnya, kenapa laki-laki merasa turun harga diri hanya karena membelikan pembalut? Bukankah membantu orang lain yang sedang berkesusahan justru adalah perbuatan mulia, yang membuat dia makin mulia?
Kenapa ada perempuan yang setuju bahkan membela?