Anak kecil itu…

Aku baru pulang kerja dan ada latihan jam lima. Sore ini aku sedang tidak ingin naik bis Damri yang biasa lewat di depan kantorku. Aku memilih naik angkot, sedikit berjalan kaki, berbecek-becek melewati segerombolan pekerja proyek pembangunan sebuah gedung raksasa. Katanya mal. Oh please, dulu jalan tempat kantorku berada ditetapkan sebagai kawasan perkantoran dan sekolahan. Sekarang mal bermunculan…

Angkot yang kutumpangi kosong, hanya ada aku yang baru saja naik dan meletakkan ransel di sebelahku. Aku sudah bersiap-siap untuk bersabar menunggu angkot itu mendapat satu dua penumpang lagi, tapi ternyata supirnya langsung menyalakan mesin dan menjalankan mobilnya.   Tadinya aku tidak terlalu memperhatikan angkot ini ataupun supirnya. Memang tidak ada yang istimewa yang bisa membuat aku mengingatnya. Misalnya ada stiker dengan kata-kata lucu atau saru. Atau mungkin jok yang warnanya ngejreng. Atau supir yang ganteng… ahem!

ian.JPG

Tapi ketika melihat anak kecil itu, bocah umur antara dua-tiga tahun, yang duduk di bangku depan… Dia bertelekan tangan di jendela, memandang lepas ke jalanan sambil sesekali menguap. Aku duduk di bangku sisi kanan tepat di belakang supir, dan aku bisa melihat wajah polosnya dari kaca spion kiri.

Aku jadi ingat aku pernah menumpang angkot ini. Waktu itu, ada anak kecil ingusan ini, bersama ibunya. Perempuan itu masih cukup muda, kutebak usianya belum lebih dari 25. kulitnya gelap tapi bersih, badannya langsing cenderung kurus, rambutnya hitam lurus panjang melampaui bahunya. Hidungnya mancung sedikit naik, sempurna.   Mulanya kukira dia penumpang biasa seperti aku, tapi setelah beberapa menit aku tahu bahwa mereka adalah anak dan istri si supir. Bocah itu, waktu itu, rewel bukan main. Merengek minta ini itu. Aku dibuat terpana dengan kata-kata yang keluar dari mulut ibunya, “Diam, atau aku hajar kamu!”. Anak itu menangis makin keras. Sang ibu lantas menjewer, mencubit, membekap mulutnya dengan gemas. Tidak berhasil. Anak itu tidak mau diam. Dia lantas menggelayut di leher supir yang ternyata adalah ayahnya. Sang ayah pun tidak mengacuhkannya, sibuk melambai-lambai ke luar, memanggil calon penumpang.

Sampai saat aku turun, anak itu masih menangis. Kuserahkan tiga ribu rupiah kepada ayahnya, dan kugenggamkan lima ribu rupiah ke tangan si bocah, “Ssst… diamlah. Nanti ajak ibu beli es krim ya…”

Dia diam waktu aku turun. Entah jadi beli es krim atau tidak.

Dan sore ini, dia sendiri. Sepertinya bosan melihat jalanan. Lalu dia merosot di tempat duduknya, dan mulai merengek. Seperti sebelumnya, ayahnya lebih konsentrasi ke jalanan mencari penumpang. Setelah beberapa saat dicueki, dia diam sendiri. Lalu berdiri bersandar sambil melihat lurus ke depan.

Kucolek pundaknya.
“Hai… kamu ganteng kalo ngga nangis”
Dia menoleh padaku dan tersenyum.
“Siapa namamu?”
“Ian”
“Mana Ibu?”
“Kerja”

Aku keluarkan susu kotak dari tasku, yang sebenarnya kusiapkan untuk kuminum nanti selesai aku latihan.
“Ian mau ini?”
Dia menyambutnya.
“Terima kasih. Tolong bukain sedotannya”, pintanya. Dan kubantu.
Tidak sampai lima menit dia menghabiskannya.
“Pak, habis”, dia lapor ke ayahnya.
“Ya, pinter. Buang”
Dan dilemparkannya ke jalan kotak susu yang sudah kosong itu. Aku hampir berteriak karena dia membuang sampah sembarangan. Tapi untung bisa kutahan. Ian bukan Ibit atau Ar Ir yang selalu ribut mencari tempat sampah kalau mau membuang sesuatu. Mungkin orang tuanya belum mengajarkan itu. Dan aku tidak berhak memprotesnya.

Aku sudah sampai ke tujuanku, hanya ada satu penumpang lain yang naik sesaat sebelum aku turun. Kuberikan tiga ribu kepada pak supir. Dan kulihat Ian yang ternyata tertidur di bangku depan…

“Da Ian…”, bisikku.

Aku tidak tahu kapan ketemu Ian lagi. Bocah kecil yang terpaksa ikut menyusuri jalanan bersama ayahnya. Atau harus bertahan dengan ibunya yang cantik tapi keras sekali masa. Tapi mulai sekarang, aku menyimpan sebuah mainan mobil-mobilan di ranselku, untuk Ian, kalau nanti kami ketemu…

 

*sebenarnya ada foto close up si ganteng ian, tapi tidak berani pasang, belum minta ijin ke ybs atau ortunya...*

22 thoughts on “Anak kecil itu…

  1. salam y buat ian. kawan latree memang baik hati, semoga Tuhan memberkati kita y. Amin. Ngmg2, nontonlah Ikhsan: Mama, I Love You. Mudah2an kita dapet pencerahan dan pengalaman untuk kehidupan. Wassalam.

  2. kisah nyata mbak L sendiri ya..?
    aku juga banyak bertemu ian2 lain yg jalan hidupnya lebih miris ,ingin ku tulis diblog tp malah nyesak di hati trus nangis
    one day pasti bisa kutulis…(T~T)

  3. @gunk: eh, jadi ga enak. bukan pamer kebaikan hati lho ini…
    @fanz: apalagi kalo lihat anaknya langsung…
    @nina: ayo tuliss….
    @iway: iya, sudah lumayan sabar itu si bapak, daripada emaknya 😀
    @uni: terima kasih juga uni, kalau ada pelajaran yang bisa diambil… aku cuma ingin berbagi pengalaman saja kok..
    @ichanx: ga perlu banyak omong memang, action aja 🙂

  4. duh..
    memang benar ya, anak itu adalah sesuatu yang kosong yang bisa kita “isi”.
    kasian ian kalau terus menerus menjadi anak yang besar dijalanan..

  5. @wempi: skrinsyut sudah diattach… kemaren itu HP error tidak bisa upload.
    @nino: hahaha… fact or fiction?
    @bangsari: hanya kalau kau jadi bapaknya…
    @easy: anak terlahir bagai selembar kertas putih… tinggal gimana pelukisnya.

  6. ‘hai….kamu ganteng…’
    ooo, mungkin waktu itu kamu juga yg nyolek pundakku, La….
    hahaha….

    aku juga punya kenalan sopir angkot dan anaknya yg esde (cewek) menemaninya (tidur) di bangku depan, saat bapaknya narik selepas jam 5 pagi. jam 7, anaknya masuk sekolah. pulang kembali muter dengan bapaknya. dan sore dia les di sekolahan. hampir tiap hari seperti itu.
    aku salut sama bapaknya, dia memperhatikan dan menomorsatukan sekolah anaknya. semoga ortunya Ian juga seperti itu.

  7. @julian: kasih ortu selayaknya begitu
    @goenoeng: ye.. jangan dipenggal di situ dong kalimatnya. ian ganteng kalo ga nangis… mudah2an bapaknya ian juga seperti temanmu itu mas.
    @eeta; sebenernya aku ga baek2 amat kok, kemaren itu lagi kesambet aja, jadi baek 😛
    @winmit: gitu deh…

  8. Emang banyak anak kaya Ian… kesian 😥
    Ian yang anak tukang siomay, Ian anak tukang sampah… kasihan…

    Tapi si Bapak ini masih lumayan karena gak nyuruh si anak ngemis di tengah hari bolong atau ujan2… Ya mungkin emang dia mampunya seperti itu… Take care of Ian Pak!

jangan sungkan kalau mau komen :)