Erangan Terakhir

*mohon maaf kalau tulisan ini nggapleki*

Aku berusaha tetap makan meskipun semakin hari semakin sulit untuk menelan. Pak dan Bu Rom yang diminta menjagaku sudah berusaha memberiku makanan terbaik. Aku tahu kenapa aku berada di sini. Kadang itu membuatku ngeri. Kadang justru bahagia. Aku tidak tahu mana yang seharusnya benar kurasakan.

Tempat aku berada ini memang sempit. Dan sejak aku masuk ke sini, tidak ada lagi kebebasan. Tidak ada lagi padang rumput, bunga, matahari, angin, atau berbagai bebauan yang dengan bebas menghampiriku. Semua hal hanya bisa kulakukan di sini. Dan semua keperluanku dibawa ke sini.

Aku berusaha untuk tidak gelisah. Mencoba menghadapi takdirku dengan lapang dada. Menerima bahwa ini anugerah dan bukan bencana. Tapi mungkin aku memang bukan makhluk suci. Karena buktinya masih saja datang perasaan-perasaan tak tenang, keinginan berontak, gelisah. Butuh energi ekstra besar bagiku untuk melawan semua ini. Aku tahu itu membuat mubadzir sebagian makanan yang kutelan. Dan semestinya aku menggantinya dengan makan lebih banyak lagi. Tapi betapa sulitnya, jika kenyataannya semua perasaan tertekan itu membuatku lebih susah makan.

Yang berbaring di sebelah kananku itu, aku sama sekali tak bisa membaca yang dirasakannya. Dia kelihatan sangat tenang. Makan, minum, tidur, seolah tidak akan terjadi apa pun. Wajahnya tetap penuh senyum. Pembawaannya tetap ceria. Sama sekali tidak terlihat kegelisahan yang disembunyikan; seperti yang kulakukan. Jika itu disebabkan kepasrahan yang dalam, betapa hebatnya. Jika itu disebabkan ketidakmengertian, betapa kasihan.

Yang di sebelah kiriku itu, justru tak mampu menyembunyikan kegelisahannya. Dia hampir-hampir tak mau makan sama sekali. Sering kulihat Bu Rom membujuknya. Menyodorkan makanan sambil mengelus kepalanya dan berbicara lembut kepadanya. Tapi sepertinya tidak berguna. Kemarin kudengar Bu Rom berbisik ke Pak Rom, mengeluhkan hal ini. Tapi Pak Rom menenangkan Bu Rom, “Dia akan makan kalau lapar. Tenang saja.”

Yang dikatakan Pak Rom itu benar sih. Walaupun sedikit dan sangat jarang, dia tetap makan. Tapi aku tidak tahan mendengar erangannya malam-malam. Entah dia mengigau dalam tidur, atau sedang terjaga menangisi nasibnya.

Bu Rom menghampiriku. Meletakkan makanan di hadapanku. Tersenyum sambil mengelus kepalaku.

“Makanlah,” katanya. “Jangan sampai kamu sakit…”

***

Suara-suara pujian mulai menggema di udara. Aku sudah tahu, masa itu akan tiba. Tadinya kupikir aku tidak akan lagi bisa mengendalikan keresahanku. Tapi ternyata sebaliknya. Aku menjadi tenang. Kegelisahanku perlahan hilang. Tidak ada lagi rasa takut. Hanya kepasrahan yang mantap.

Yang di sebelah kiriku mengerang lebih sering dan memilukan. Nadanya semakin meninggi dan keras. Aku tidak berusaha menenangkannya. Tidak akan ada gunanya kurasa. Aku takut malah akan menambah kegelisahannya.

Yang di sebelah kananku mendadak menjadi ikut ribut. Entah ke mana perginya ketenangan yang ditunjukkannya selama hampir seminggu dikurung bersamaku. Lalu dia mulai ikut mengerang. Tinggi rendah tak karuan. Sesekali membenturkan kepala ke dinding. Duduk, berdiri, berputar, lalu berusaha melarikan diri.

Pak Rom menggantikan Bu Rom yang tidak kuat menenangkannya. Bu Rom menuntun teman kami yang satu lagi. Sedang aku berjalan menurut saja mengikuti mereka, dituntun oleh Jit, putra Pak Rom.

Kami tiba dibawa ke halaman rumah Tuhan. Riuh. Banyak yang datang. Lelaki perempuan, tua muda, bahkan anak-anak. Sebagian duduk saja mengobrol. Sebagian lagi hilir mudik ke sana ke mari, mengurus ini itu. Kami bertiga ditempatkan bersama teman-teman dari tempat lain. Kuperhatikan sebagian besar dari kami sebenarnya tenang. Hanya satu dua saja yang ribut.

Satu per satu kami dijemput. Hingga tiba giliranku.

Pak Rom menuntunku. Tanpa perlawanan aku dibaringkan. Meskipun begitu masih saja ada yang memegangi kaki dan lenganku. Seorang laki-laki berbadan besar mendekat ke arah kepalaku, memegang golok di tangan kanannya. Aku tidak ingin memejam. Aku ingin menyambut irisan golok itu di leherku. Aku ingin menikmatinya.

“Bismillah” ucap laki-laki itu lirih.

Untuk terakhir kalinya dalam hidupku, pertama kalinya setelah berhari-hari aku membisu, akhirnya aku mengerang. Menumpahkan timbunan suara yang kucekat di kerongkongan. Ya Allah terimalah aku sebagai persembahan korban Pak Rom kepada-Mu.

EMBEEEEEEEK………….!

7 thoughts on “Erangan Terakhir

Leave a reply to danie Cancel reply