Lelaki dan Koran Tua

Untuk Prompt #26 di Monday Flash Fiction

Sudah seminggu aku melewati gang ini setiap pagi. Untung sekarang musim kemarau. Kabarnya kalau musim hujan, jalan ini pasti terendam air paling tidak semata kaki. Aku berencana untuk pindah kos nanti-nanti. Tempat kosku sekarang memang dekat dengan tempat kerja baruku, tapi lingkungannya kurang nyaman.

Setiap kali lewat pula, aku melihat laki-laki tua itu. Selalu dengan posisi yang sama, duduk membaca koran yang sama. Iya, koran yang dipegangnya tak pernah berubah. Warnanya sudah menguning dan tampak agak kusut. Bagian depannya headline kerusuhan tahun 1998. Jadi koran itu sudah berumur 15 tahun…

Ini hari Minggu. Aku libur. Tapi aku sengaja joging pagi lewat gang ini. Laki-laki tua itu ada di sana. Dengan korannya. Penuh rasa penasaran aku mendekat.

*gambar koleksi Orin*

“Selamat pagi pak…”

Dia menoleh perlahan ke arahku. Lalu melipat koran di tangannya perlahan dan rapi.

“Pagi, Nak. Olahraga?”

“Iya. Bapak ndak olahraga?”

Laki-laki itu terkekeh, memperlihatkan giginya yang tinggal satu dua.

“Kenapa bapak membaca koran yang sama setiap hari?”

Mendadak tawanya berhenti. Sekarang dia membuang pandangan ke kejauhan. Aku diam, tidak berani bertanya lagi. Lama aku menunggu jawaban tapi dia tetap diam. Akhirnya aku berdiri.

“Maafkan kalau saya mengganggu. Saya pamit…”

“Tunggu!”

Aku membalikkan badan ke arahnya. Dia membuka koran di tangannya dengan hati-hati. Dia memintaku membaca sebuah berita orang hilang.

‘Telah meninggalkan rumah sejak 24 April 1998, Ayah kami, nama Paryo Wikromo, usia 62 tahun, pada saat meninggalkan rumah mengenakan celana pendek warna hitam dan singlet berwarna putih. Karena kondisi Ayah kami ini kurang sehat kejiwaannya, mohon bantuan kepada siapa saja yang menemukannya untuk menghubungi kami di…’

Aku selesai membaca. Dia tertawa sekerasnya. Membiarkanku ternganga.

“Mereka benar-benar ingin meyakinkan semua orang bahwa aku sakit jiwa. Aku, Bapak mereka sendiri. Hanya agar mereka bisa segera menguasai pabrik rokok yang tak seberapa besarnya itu. Anak-anak rakus dan tak tahu malu. Tidak… mereka tidak akan pernah mendapatkan keterangan dari dokter jiwa mana pun. Kalau mereka ingin menguasai pabrik rokok kecil yang sudah hampir mati itu biarlah. Tapi aku tidak gila. Dan aku tidak mau dinyatakan gila demi kepentingan apa pun…”

Dia tertawa lagi.

Perlahan melintas di mataku, bayangan Bapak dan Pak Dhe bertengkar hebat di ruang tamu rumah kami. Aku masih SMP waktu itu, bersembunyi di pelukan Ibu di balik gorden. Pak Dhe ingin membuat pernyataan bahwa Mbah Kung sudah meninggal, agar pabrik rokok bisa segera dijual, dan semua peninggalan bisa segera dibagikan. Bapak ngotot ingin mencari Mbah Kung meskipun sudah bertahun hilang.

Terbayang lagi Pak Dhe menghantamkan tinju ke kepala Bapak. Bapak terjengkang, kepalanya membentur sudut meja dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit karena pendarahan hebat di kepalanya. Meninggalkan aku dan Ibu, diusir Pak Dhe dari rumah Mbah Kung. Terlunta dari saudara ke saudara.

Aku terguguk memeluk Mbah Kung yang terus tertawa tak puas-puasnya.

26 thoughts on “Lelaki dan Koran Tua

  1. Ceritany bagus, tp ak bingung dengan potongan kalimat ini . . .
    ” Bagian depannya headline kerusuhan tahun 1998. Jadi koran itu sudah berumur 25 tahun, dua tahun lebih tua dari umurku “

    • headline itu clue untuk setting waktu dari dulu ke kini. ada sedikit salah hitung, sdh diperbaiki, makasih koreksinya 🙂

  2. Aku : “Ja…jadi…kakek adalah Mbah Kung?” -merangkul si kakek sambil tersedu.
    Kakek : ” Heh, kenapa peluk-peluk? Nama saya Bejo!” -menggeliat, ngomel.
    Aku: “Oh, maaf Kek.” -tersipu. berlalu dengan tergesa.
    Aku (dalam hati) : “Huh, apes! Salah orang. Mana bau lagi. Hih.
    (tema cerita : Aku Lagi Apes)
    *kemudian ditimpuk sama Latree.
    😀

Leave a reply to eksak Cancel reply