[Berani Cerita #09] Fatal Ignorance

Sejak tinggal di rusun ini enam bulan yang lalu, aku belum pernah bercakap-cakap dengan perempuan di rumah nomor 307 itu. Paling-paling tersenyum ketika berpapasan di tangga. Itu pun tak selalu. Kadang dia melengos atau menunduk, seolah enggan bertatap mata. Sombong sekali, pikirku.

Belakangan kudengar dari obrolan tetangga, dia itu seorang guru sebuah SD swasta yang tidak terkenal. Aku juga tidak tahu di mana ada SD swasta di sekitar sini. Trayekku rumah-kantor-rumah. By bus. Aku juga jarang ngobrol dengan tetangga lain. Setiap kali pulang aku lebih suka langsung masuk ke rumah dan istirahat. Hanya menyapa dan sesekali bicara tentang hal-hal tak penting dengan ibu-ibu yang sedang menyuapi anaknya sore hari, atau sedang menjemur cucian di pagi hari. Sekedar sopan santun bertetangga.

Aku tidak suka terlibat obrolan yang ujung-ujungnya menggosipkan tetangga. Entah barangkali mereka juga pernah menggosipkan aku di belakang. Yang jelas aku setuju dengan mereka soal penghuni 307. Sombong. Tidak mau bergaul. Ada yang bilang perempuan itu sakit jiwa. Aku sama sekali tidak pernah memperhatikan aktivitas mereka. Pintu rumahnya selalu tertutup. Hey, aku bahkan baru beberapa kali melihat suaminya. Pakaian dan rambutnya berantakan. Badannya bau. Mungkin asap rokok bercampur alkohol dan parfum murahan yang kubayangkan tertular dari baju-baju perempuan mainannya. Kurasa memang sebaiknya aku tidak berurusan dengan mereka.

***

Hari ini aku pulang agak malam. Tadi sepulang kerja aku mampir ngopi dengan beberapa teman. Ada yang aneh ketika aku masuk gang. Sebuah mobil ambulans dengan sirene yang meraung-raung parkir di depan pintu utama rusun. Di belakangnya ada sebuah mobil polisi. Orang-orang berkerumun di pinggir jalan, di depan pintu rumah, di tangga, melongok di jendela. Beberapa polisi menahan kerumunan untuk tidak mendekati garis polisi. Rumah 307 dibatasi garis polisi.

“Apa yang terjadi?” tanyaku berbisik pada ibu penghuni 215.

“Perempuan aneh itu mati…”

“Ha? Kenap…”

“Dibunuh suaminya. Mungkin tidak bermaksud membunuh. Tapi badan perempuan itu penuh memar bekas pukulan. Dari telinganya keluar darah. Tadi dia sempat menjerit-jerit minta tolong. Pak RT dan beberapa bapak ke sana, sampai mendobrak pintu. Masih sempat dibawa ke rumah Pak RT, perempuan itu. Tapi…”

Aku mundur merapat ke tembok, mencengkeram lengan ibu di sebelahku. Dua polisi lewat menggiring laki-laki 307 yang sudah diborgol tangannya. Dalam hati aku meminta maaf pada perempuan malang itu. Andai warga rusun ini, termasuk aku, memilih peduli ketimbang berprasangka buruk, mungkin ini tidak harus terjadi…

*tulisan ini diikutsertakan dalam Berani Cerita #09*

20 thoughts on “[Berani Cerita #09] Fatal Ignorance

  1. Tersirat halus. tp syarat akan makna. “Perkir” itu apa Mak? kata “parkir” yg sesuai EYD ya?

  2. aku suka dengan tulisan yang setelah selesai dibaca pun masih bisa menimbulkan kesan tertentu…..seperti tulisan ini. Kerja bagus, kawan.. 🙂

  3. Banyak kejadian yang serupa dgn ini di masyarakat. Tapi memang KDRT seringkali membutuhkan kemauan kuat dari korban untuk keluar dari keadaan itu.

  4. sesuai bgt sama kenyataan disekitar kita..kadang kita sering terbawa pendapat tetangga tentang org lain ketimbang bertanya langsung “bisik kiri bisik kanan”…
    padahal belum tentu kenyataannya seperti yg mereka lihat dan kita bayangkan….
    karya bagus mba…:D

jangan sungkan kalau mau komen :)