Menguji Iman Dengan “Origin”

Judul: Origin
Penulis: Dan Brown
Penerbit: Double Day, New York

versi Indonesia:
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno, REinitha Amalia Lasmana, Dyah Agustine
516 halaman
PT. Bentang Pustaka, November 2017

.

I

Dulu, di awal kelas satu SMP (sekarang disebut kelas tujuh), aku ingat di pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, kami mempelajari tentang keberadaan Tuhan. Tentang kesadaran manusia akan sebuah kekuatan di balik kehidupan. Siapakah dia yang ada sebelum semesta ini ada? Siapakah yang menciptakan semua?

Lalu di pelajaran Fisika (lupa kelas berapa) dibahas tentang berbagai teori terbentuknya galaksi; bintang, planet, satelit. Di pelajaran Biologi (kalau ndak salah kelas 1 SMA) dibahas tentang Teori Darwin versus Lamarck.

Semua berujung di pelajaran Agama; Tuhan menciptakan semesta dan seluruh makhluk penghuninya.

.

II

Edmond Kirsch, miliarder, ahli komputer, futuris, dan ateis; berencana mengumumkan penemuannya  yang mengungkap tentang asal-usul (dan akhir) kehidupan di hadapan ratusan tamu, dan disiarkan untuk disaksikan jutaan pemirsa di seluruh dunia. Robert Langdon, ahli kode dan simbol, dosennya di masa kuliah, diundang sebagai salah satu tamu dalam acara itu.

.

Dari mana asal kita? Ke mana kita akan pergi?

“Ilmuwan dan spiritualis sering menggunakan kosakata berbeda untuk menjelaskan misteri-misteri jagat raya yang persis sama. Konfliknya sering kali menyangkut semantik, bukan substansi.” (Robert Langdon) – (Hal. 66).

Di awal cerita, Edmond Kirsch menemui tiga pemuka agama dunia (Uskup Valdespino – Katholik, Syed al-Fadl – Islam, Rabi Köves – Yehoda) untuk menceritakan penemuannya, sebelum pengumuman kepada dunia. Reaksi ketiganya setelah mendengar paparan singkat Edmon, terus terang, membuat penasaran. Apa kiranya penemuan itu, yang akan segera diumumkan, yang katanya berpotensi menghancurkan iman pemeluk agama-agama di dunia?

Benarkah sebegitu meresahkan hingga Edmond Kirsch harus dibunuh, agar pengumumannya urung? Lalu kenapa dua dari tiga pemuka agama itu juga mati terbunuh?

Kehadiran Putra Mahkota Spanyol yang bertunangan dengan Ambra Vidal, pengelola museum tempat Kirsch menyiarkan penemuannya, menyajikan alternatif tokoh untuk diduga menjadi pelaku pembunuhan Kirsch.

.

Ada banyak narasi yang bagiku tidak terlalu menarik, sebenarnya bisa di-skip tapi tentu saja tidak karena aku tidak mau kehilangan detail yang mungkin memengaruhi jalan cerita. Deskripsi detail tentang karya dan ruang yang begitu banyak, sebagian memang menjadi kunci pemecahan teka-teki dalam cerita. Sebagian sisanya barangkali memang perlu dihadirkan, sebagai, uhm, pelengkap?

Ada hal yang mengusik tentang bagaimana Robert Langdon dan Ambra Vidal dengan begitu mudahnya menemukan kata sandi untuk mengaktifkan komputer utama yang akan digunakan untuk menayangkan presentasi Kirsch. Tidak, bukan tanpa halangan dari pihak yang masih kabur agar mereka gagal menuntaskan keinginan Kirsch untuk mengumumkan penemuannya. Tapi semua halangan bisa dilalui dengan mudah, berkat Winston, komputer cerdas bikinan Kirsch. Dan hampir tidak ada kesulitan memecahkan simbol dan kode untuk menemukannya. Tidak ada salah tuju. Tidak ada salah tafsir. Langsung ketemu, dan benar. Ini terasa, tidak enak.

Ada penasaran lanjutan ketika akhirnya penemuan Kirch berhasil diumumkan. Juga tentang respon dunia yang diceritakan sepintas. Halo. Kenapa para Pemuka agama itu begitu resah dengan penemuan seperti itu? Atau ilmuku yang tidak sampai? Atau aku mulai kehilangan ketuhanan sehingga menganggapnya ‘biasa’?

Tapi kengerian sesungguhnya bukan tentang penemuan Kirsch yang diumumkan itu. Satu hal, yang bahkan Kirsch sendiri tidak (sempat) tahu. Dan seperti biasa ketika kita menemu twist di akhir cerita, kita merasa penulis ‘menipu’ pembaca sejak awal cerita.

.

Pola adalah rangkaian yang teratur dan dapat dibedakan. …Kode harus lebih dari sekedar membentuk pola–kode harus membawa data dan menyampaikan makna. – (Hal. 485).

Dover: Kegetiran Dunia Imigran Gelap

Dover 

Gustaaf Peek

Amsterdam, Em. Querido’s Uitgeverij. 2008.

Alih bahasa: Gabriella Felicia, Maria Leisa Adelia, Meggy Soedjatmiko, Miranda Sapardan, Sri Zuliati, Tyas DM, Vini Widianingsih, Widjajanti Dharmowijono, Zahroh Nuriah.

Gramedia Pustaka Utama, 2015.

dover

===========

Membaca Dover adalah membaca kegetiran dunia imigran gelap. Mimpi dan angan-angan akan hidup yang lebih baik di negara lain, meninggalkan kepedihan masa lalu di negara asal. Tony yang dari Indonesia. Bas yang dari Afrika. Ayline yang entah dari mana. Menjadi bahan perahan tangan-tangan jahat yang menjanjikan harapan. Abdu yang memperdagangkan perempuan. Bernard pengacara bangkrut yang beralih urusan mencarikan jalan pelarian. Tuan Chow yang masih sedikit punya perasaan.

Buku ini dibuka dengan kejadian tenggelamnya kapal yang mengangkut 58 penumpang imigran gelap dengan menggantikan muatan yang dilaporkan sebagai tomat, dari Rotterdam (Belanda) ke Dover (Inggris). Hampir seluruh penumpang mati karena keracunan karbondioksida. Hanya dua yang selamat.

Dover dituturkan bergantian oleh tokoh-tokohnya, dalam lompatan ruang dan waktu. Dari satu tempat ke tempat lain. Dari masa kini ke masa lalu dan kembali ke masa kini.

Kelihaian Gustaaf menciptakan penggalan-penggalan kisah, kemudian menjalinnya dalam jejaring yang berkaitan, menjadikan novel ini jauh dari membosankan. Setiap bagian kisah seolah adalah cerita tersendiri. Dituturkan oleh tokoh yang berbeda, memiliki alur dan twist masing-masing. Namun semuanya padu menyusun keseluruhan cerita. Kita seperti diajak terayun terombang-ambing ke sana kemari, tapi menikmati.

Di beberapa bagian penuturan tentang kejadian yang sama dilakukan oleh dua tokoh dan terasa seperti pengulangan yang sedikit mubadzir.

Salah satu bagian menarik dari Dover adalah latar belakang Tony, tokoh utamanya, yang adalah imigran gelap asal Indonesia. Gustaaf menceritakan dengan baik detil kejadian kerusuhan Mei 1998. Kisah Tony adalah rekaan, tapi Gustaaf mereka kisah dengan bertanggung jawab, tidak lepas dari fakta bersejarah yang terjadi.

Rentang kisah yang cukup lama (dimulai dari masa kecil Tony hingga awal 2000-an) memberi ruang yang cukup longgar bagi tiap tokoh untuk bertutur tentang dirinya. Gustaaf telah cukup memberikan flash back  bagi pembaca untuk memahami keterkaitan masa lalu dan masa kini masing-masing tokoh, maupun keterkaitan antar tokoh. Meskipun begitu, masih terdapat bagian-bagian ‘gelap’ yang mungkin menimbulkan pertanyaan bagi pembaca. Sebaliknya, terdapat juga bagian-bagian yang terasa tidak penting untuk jalannya kisah.

Sebagai sebuah novel terjemahan, Dover cukup luwes dan nyaman dibaca. Barangkali karena dia adalah penyair. Gustaaf menyajikan kepedihan yang dijalani tokoh-tokohnya dengan indah namun tetap pilu. Kalimat-kalimat yang pendek dan tenang, sanggup mengalirkan keriuhan tanpa berisik. Bahkan pada bagian-bagian yang terasa ‘kejam’ dan ‘ngeri’, Gustaaf bercerita kepada kita dengan halus.

Kita dapat terus membaca sambil sesekali menutup buku, menahan napas, lalu melanjutkan lagi. Setiap bab adalah kegelisahan dan kecemasan yang dirasakan tokoh—tokohnya. Kekejaman pemerintah. Kekejaman hakim-hakim sosial di masyarakat. Masa lalu yang gelap. Bahkan kegelisahan tentang cinta.

Di akhir cerita yang tragis dari masing-masing tokoh, terasa seolah Gustaaf menusukkan pisau ke jantung pembaca dengan perlahan, sambil mendongeng tentang khayalan penuh keindahan. Sakit. Tapi indah. Dan kita menelannya penuh rasa terima kasih.

(Dimuat di Harian Solo Pos, 30 Agustus 2015)

Inspirasi Untaian Nama Bayi: Bayi Pertama IIDN Semarang

Inspirasi Nama Bayi1

 

Ini pengalaman baru, nulis buku kroyokan bareng Ibu-Ibu Doyan Nulis Semarang. Dan ini adalah buku pertama dari kumpulan ibu-ibu yang doyan nulis ini. Dalam buku ini ada 200 cerita di belakang nama bayi. Ada bayi yang baru lahir, bayi yang sudah agak gede, sampai bayi yang sudah gede, sampai sudah punya bayi lagi. Ditulis oleh para Ibu, berdasarkan pengalaman pribadi. Bisa dijadikan referensi, selain buku-buku inspirasi nama bayi yang sekedar berisi makna-makna kata dari berbagai bahasa.

***

Ada yang menarik perhatian, dan tiba-tiba terasa aneh, ketika membaca kisah-kisah dibalik nama bayi yang ada di buku ini. Banyak nama yang terdiri dari dua (atau lebih) kata, dan kata-kata itu berasal dari bahasa yang berbeda. Lalu si pemberi nama menggathuk-gathukkan makna kata-per-kata, dan mengepas-ngepaskan, dan merasa telah menyusun sebuah nama yang indah.

Sampai di sini aku tertawa sendiri. Karena begitu juga lah aku menamai anak-anakku: mencampur Bahasa Arab dan Jawa.

Padahal setiap bahasa punya kaidah sendiri, yang belum tentu klop ketika dipadankan dengan  kata dari bahasa lain. Misalnya kata Bahasa Arab ‘an-nuur‘ yang berarti cahaya, dan ‘al-qomar‘ yang bermakna bulan. Jadi cantik ketika digabung menjadi ‘Nurul Qomariah’ – cahaya bulan.

Mari kita coba menggabungkan ‘nuur’ dengan bulan dalam bahasa jawa, ‘wulan’. Nurul Wulan. Atau dibalik, Cahyaning Qomariah.  Kedengaran bagus sih. Tapi ada yang terasa tidak pas, ya.

Bagaimana jika kita gabungkan dua kata Bahasa Jawa dengan makna yang (kurang lebih) sama? Cahyaning Wulan. Ini baru pas!

Bagaimana kalau kata-kata yang kita gabungkan berasal dari bahasa yang punya struktur berbeda? Gampangnya, misalnya, antara Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Bahasa Inggris punya struktur MD (menerangkan – diterangkan): red dress. Bahasa Indonesia punya struktur DM: baju merah. Kalau kita ingin menggabungkan dua kata dari kedua bahasa tersebut, kita mau ikuti struktur yang mana?

Yang ada kita abai. Tidak peduli mau ikut kaidah mana. Kita begitu mudah menjadi tidak konsisten dan egois. Yang penting kata ini bagus, kata itu indah, kata itu cantik. Kata-kata indah digabung menjadi lebih indah. Lalu menerjemahkan makna dengan semena-mena. Dan ini bukan hanya ditemui di buku ini, tapi di mana-mana di sekitar kita.

Barangkali ini karena terbatasnya pengetahuan kita, sedang keinginan kita untuk indah dan istimewa, begitu besar. Dan karena sudah kadung, ya sudahlah biarkan saja. Toh maksud kita baik, memberikan nama yang baik, menyelipkan doa. Dan semoga si empunya nama bahagia, tidak mempermasalahkan ‘kekacauan’ yang tanpa sengaja terkandung dalam nama mereka.

Di titik ini kekagumanku pada Bapak semakin meninggi. Bukan saja beliau memilihkan kata-kata indah, tapi juga tetap konsisten tidak memaksakan kehendak dalam menyusun kata-kata.

***

Terus terang agak beda dengan ketika aku ikut berkontribusi di beberapa buku rombongan sebelumnya. Misalnya untuk kumpulan cerita anak ‘Pocong Nonton Tivi‘, yang harus ikut workshop nulis cerita anak dulu selama dua hari. Atau buku literasi media ‘Tak Harus Membenci Televisi‘, yang harus ikut workshop literasi media untuk belajar lebih kritis mengamati siaran televisi. Atau ‘Dear Mama‘, kumpulan surat cinta buat ibu, yang harus melalui seleksi ketat.  Atau ‘#15HariNgeblogFF‘, yang harus konsisten 15 hari berturut-turut ngeblog FF. Atau… apa lagi ya… ya pokoknya… seneng banget, untuk buku ini, cukup dengan nulis kurang dari 200 kata bercerita tentang kisah dibalik nama bayi, kita bisa ‘punya buku’. Terima kasih IIDN, ajang bagi para ibu untuk belajar nulis dan hore-hore rame-rame. Yay!

Yang ingin mendapatkan bukunya bisa segera meluncur ke Gramedia. Yang ingin ikut belajar nulis (dan punya buku) ayo gabung komunitasnya 😉

#5BukuDalamHidupku My Sister’s Keeper Menjungkirbalikkan Mata dan Hatiku

Judul: My Sister’s Keeper
Penulis: Jodi Picoult (2004)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2007)

jodi picoultEntah kenapa aku memilih buku ini untuk menjadi yang pertama kuceritakan soal 5 buku dalam hidupku. Ini novel paling besasikan yang pernah kubaca. Alurnya. Penuturnya. Begitu acak-acakan tapi tetap terarah. Dan dengan acak-acakannya itu justru bisa menjungkirbalikkan hati.

Sesungguhnya lebih dari sekedar permainan Jodi dalam menata kata-kata dan alur yang sanggup mengobrak-abrik hati. Keresahan yang tertuang di setiap halamannya, memaksa kita (setidaknya aku) untuk melihat dunia dan keseharian kita dari kaca mata yang berbeda. Hidup tidak selalu indah. Kesedihan kadang menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Pilihan yang dihadapkan pada kita tidak selalu mudah.

***

Jika kau seorang ibu, lalu anakmu sakit, sekarat, dan satu-satunya (kesempatan) pertolongan adalah dengan meminta sebagian organ dari anakmu yang lain, yang mungkin harus berulang kali lagi dan lagi, apa yang akan kau lakukan?

Jika kau seorang penderita kanker leukimia akut yang langka, yang seumur hidupmu kau membutuhkan donor berbagai hal dari saudaramu, apakah kau akan terus meminta darinya?

Jika kau punya saudara yang sangat kau sayangi, yang membutuhkan donor bagian dari tubuhmu setiap saat dia kambuh, entah sampai kapan; apakah kau akan terus memberikannya untuknya?

Jika kau seorang anak, yang merasa terabaikan karena orang tuamu sibuk mengurus salah satu saudaramu yang selalu membutuhkan pertolongan, apakah kau akan diam saja?

Jika kau seorang Ayah, yang menyayangi semua anakmu tapi terpaksa fokus pada yang satu dan (terpaksa) harus mengabaikan yang lain, bagaimana kau membayarnya?

***

Aku adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Dengan kehidupan masa kecilku yang serba terbatas, aku tetap akan bilang kami bahagia. Bapak dan Ibu selalu berusaha bersikap sama terhadap semua anaknya. Nyaris tidak pernah kami merasa saling iri satu sama lain. Nyaris.

Karena kami sebagai kanak-kanak mungkin pernah merasa iri satu dua kali. Kenapa mbakku boleh begini di umur segini dan aku tidak? Atau mbakku yang justru berpikir, kenapa adikku dikasih ini dan aku tidak? Tapi itu tidak pernah membuat kami benar-benar merasa yang satu lebih disayang dari yang lain.

Maka ketika akhirnya aku menjadi orang tua, betapa aku berusaha untuk tidak membedakan timbangan kasih sayang pada anak-anakku. Kehidupan kami wajar. Bukan berarti tidak pernah ada kesulitan. Kami pernah tidak punya uang. Anak-anak sakit dan harus opname. Kelahiran dengan resiko tinggi. Anak yang berkebutuhan khusus. Dibikin berat bisa jadi berat.

Dengan kebutuhan anak yang berbeda-beda, kondisi aku yang begini, suami yang begitu, orang tua, mertua dan semua tuntutan mereka. Lingkungan bekerja. Tetangga. Setiap orang merasa penting bagi kami. Setiap orang ingin didengarkan.

Maka yang ingin kulakukan adalah mendengarkan anak dan suamiku, sebelum mendengarkan yang lain-lain. Mencoba mengerti apa yang dipikirkan setiap anak atas saudaranya, atas sikapku kepada mereka. Aku tidak ingin ada keresahan yang tidak diungkapkan. Meski aku tahu sikap kerasku sering membuat mereka merasa enggan. Dan aku tidak ingin menumbuhkan resah dalam diriku sendiri, dengan mencurahkan lebih banyak perhatian pada yang satu sambil berpura tidak tahu jika ada yang merasa begitu.

Maka pada setiap pilihan yang ada di hadapanku, ketika itu aku tahu akan mempengaruhi satu atau dua atau tiga atau empat anakku, aku dan suamiku tidak akan memutuskannya sendiri. Aku ingin mereka mengatakan apa yang mereka rasakan, mereka inginkan. Dan jika pun pada akhirnya pilihan adalah ketetapan kami, Bapak dan Ibuk mereka, mereka harus tahu kenapa dan apa yang akan kami lakukan untuk tetap melindungi mereka.

Pesta Dongeng 1 di Blog Dongeng Anak

Tanpa terasa, Blog Dongeng Anak sudah berumur satu tahun. Lagi lucu-lucunya nih kalau manusia, sedang belajar jalan. Untuk menandai kebahagiaan ini, tiga admin Blog Dongeng Anak yang keren-keren ingin mengadakan sedikit keramaian.

Tanggal 17 November 2013 nanti akan ada Pesta Dongeng Offline, yang insya Allah akan diselenggarakan di Kantor Lespi Semarang. Acaranya baca dongeng, menyanyi dongeng, ngobrol dongeng… Kami mengundang teman-teman untuk ikut memeriahkan acara ini.

mimi dan uno

Bagi yang belum bisa gabung di even offline-nya, jangan khawatir. Ada Pesta Dongeng online kok. Blog Dongeng Anak mengadakan proyek menulis bareng, kami mengajak para pecinta dongeng dan cerita anak untuk ikut bergabung dalam proyek ini. Proyek ini akan jadi bentuk sumbangan lain dari Blog Dongeng Anak untuk anak-anak Indonesia, selain bacaan online yang tersedia di web.

Berikut persyaratannya:

  1. Proyek terbuka untuk umum.
  2. Cerita/dongeng untuk anak dengan tema ‘aku dan bumi’.
  3. Panjang maksimal 1000 kata.
  4. Tulisan harus baru dan orisinil, dan belum pernah dipublikasikan di media manapun termasuk blog pribadi. Bukan jiplakan, dan bukan terjemahan.
  5. Setiap penulis hanya boleh mengirim 1 (satu) tulisan.
  6. Tulisan diketik dalam file berformat .doc atau .docx, halaman A4, huruf Times New Roman, font 12, spasi 1.5. Format judul file: Judul – Nama Penulis. Contoh: Mumpung Tak Ada Ibu – Latree Manohara
  7. Kirimkan sebagai attachment (bukan ditulis di badan email) dengan subyek: [PestaDongeng 1] Judul Tulisan – Nama Penulis via email ke  blogdongenganak@gmail.com sebelum tanggal 30 November 2013 pukul 23.59 WIB.
  8. Sertakan sedikit bio data tentang diri penulis, tak lebih dari 50 kata, dituliskan di akhir naskah.
  9. Bagi yang memiliki akun twitter silakan melakukan konfirmasi setelah mengirimkan karyanya, dengan mention kami di twitter: @elmanohara @putrimeneng @redcarra #PestaDongeng1 – Judul Tulisan – Nama Penulis. (Optional).

Tulisan yang masuk akan disaring dan dipilih untuk diterbitkan secara indie sebagai Kumpulan Cerita untuk Anak. Penulis yang karyanya lolos akan mendapatkan 1 (satu) nomor bukti, dan berhak membeli buku dengan harga khusus. Keuntungan dari penjualan buku (jika ada) akan digunakan untuk membiayai kegiatan Blog Dongeng Anak selanjutnya, seperti untuk mengadakan lomba dongeng, merchandise untuk para kontributor, disalurkan untuk taman-taman bacaan yang membutuhkan, dan sebagainya..

Ingin ikut menyumbangkan karyanya untuk anak Indonesia? Ini saatnya. Ditunggu partisipasinya ya 🙂

Pintu Terlarang – Sekar Ayu Asmara (setelah membacanya)

7913866.jpg (168×250)

Sekar Ayu Asmara
Gramedia Pustaka Utama, 2009
(gambar dipinjam dari Goodreads.com)

Sampul dan teasernya mengundang penasaran. Sejak awal membacanya juga. Membuat aku sempat berpikir, sialan tenan, mau dibawa ke mana cerita ini?

Aku berusaha mengaitkan tiga tutur yang berjalan beriringan di buku ini.

Yang pertama adalah cerita seorang anak berusia 9 tahun yang mengalami penyiksaan dari kedua orang tuanya. Setiap kesalahan kecil berbuah siksaan kejam. Terlebih jika Bapak si anak datang, setiap Sabtu Minggu, teror makin horor bagi si anak.

Yang kedua, pasangan misterius Gambir, seorang pematung dan Talyda, wanita karier yang serba sempurna. Bintang Gambir sedang bersinar, patung-patungnya laris di setiap pameran yang disponsori Koh Jimmy. Talyda dengan segala idenya menunjang kesuksesan Gambir. Dan, suksesnya sendiri. Gambir dikelilingi sahabat-sahabatnya Rio dan Dandung, dua orang adiknya, dan ibunya yang anggun namun dominan, Menik Sasongko. Kehidupan Gambir dan Talyda sungguh sempurna. ‘Perfection, perfection, perfection.’ Detail di setiap keseharian yang digambarkan oleh penulisnya adalah tentang hal-hal ‘paling’ yang bisa diceritakan. Baju, tas, dan sepatu dari desainer dunia. Parfum berkelas. Cafe terbaik. Rokok ternikmat.

Gambir dan Talyda saling mencintai setengah mati. Namun ada sebuah rahasia yang disembunyikan Talyda, tentang sebuah pintu yang sama sekali tak boleh dibuka oleh Gambir. Menurut Talyda, jika Gambir melihat apa yang ada di balik pintu itu, hidup mereka akan hancur.

Kecintaan Gambir menguatkan dia untuk tidak melanggar larangan Talyda,  meskipun dia selalu terusik dengan keberadaan pintu terlarang. Terlebih ketika dia mulai mendengar suara-suara minta tolong dari balik pintu itu. Ketegangan semakin bertambah ketika Gambir mulai menemukan satu demi satu bukti ketidaksetiaan Talyda.

Yang ketiga, Ranti seorang reporter yang sedang melakukan investigasi untuk beritanya. Yang ini bisa langsung aku kaitkan dengan si anak dengan trauma siksa masa kecilnya. Karena pasien rumah sakit jiwa yang sedang diinvestigasi Ranti adalah seorang yang sejak berusia sembilan tahun telah masuk ruang isolasi karena kondisi kejiwaannya yang terganggu parah. Sejak usia sembilan tahun, selama 18 tahun, karena pada saat investigasi dia sudah berusia 27 tahun. Si pasien ini, diceritakan menderita depresi parah. Tidak bisa berkomunikasi. Memakai baju pengekang karena agresif. Satu-satunya benda yang bisa menenangkannya adalah pisau plastik yang diacungkan oleh dokter atau perawat. Hanya pisau, benda yang masih bisa dikenalinya.

Jadi sisi cerita Ranti ini membuatku berkesimpulan, cerita si anak dan penderitaannya itu adalah semacam flash back.

Satu benang merah yang mengaitkan sisi cerita Ranti dan Talyda adalah tokoh Dion yang fotografer humanis. Hanya saja bagi Ranti Dion adalah duda beranak satu, sedang Dion milik Talyda adalah seorang perempuan seksi dengan rok mini.

***

Begitu banyak pujian bagi buku ini. Untuk suspense yang disajikan dengan bahasa yang mudah dicerna. Oke, aku setuju. Untuk ending yang mengejutkan dan di luar dugaan. Aku juga setuju. Setuju bahwa ini di luar dugaan. Terkejut kok endingnya begitu. Suka? Tidak.

Tiba-tiba aku merasa seperti habis membaca flash fiction bergaya thriller dengan ending ‘ternyata cuma mimpi’. Dengan lubang besar ketidaklogisan. Huft… semoga yang kusampaikan ini bukan dianggap spoiler.

Begini. Seluas apa pengetahuan seorang anak berusia sembilan tahun pada 18 tahun hitung mundur dari tahun 2005 (awal terbitnya buku ini) – yang berarti itu tahun 1987? Seorang anak yang tertindas oleh kekejaman kedua orang tuanya. Dengan gangguan jiwa tingkat berat yang dideritanya. Yang pada usia sembilan tahun itu akhirnya masuk ruang isolasi dalam keadaan tidak dapat diajak berkomunikasi.

Delapan belas tahun berada di ruang isolasi, bisakah dia  mendengar begitu banyak hal? Tentang universitas terbaik di dalam dan luar  negeri. Merk-merk mahal konsumsi kelas tinggi. Detil teknik mematung dan melukis. Hotel-hotel eksotis. Perselingkuhan. Percintaan penuh gairah. Obsesi.

***

Maksudku, ini novel. Novel itu panjang. Dia punya banyak ruang dan kesempatan untuk menjelaskan segala peristiwa dan kejadian dengan sekilas bahkan detil.

Aku belum nonton film yang digarap Joko Anwar berdasar novel ini. Tapi aku sudah baca-baca sinopsis filmnya. Dan ternyata Joko Anwar juga melihat berbagai kebocoran di novel ini. Lantas menambalnya dengan cerdas, menjelaskan segala ketidakmasukakalan yang berceceran di novelnya. Jadi beda dengan novelnya. Well  mungkin lebih baik begitu. Karena novelnya, ya begitu itu.

Awur-awuran ala Atisejati*)

Ketika mulai bergabung dengan Atisejati sekitar bulan November 2010 dulu, aku tinggal tahu jadi 10 puisi-musik yang ada di album ‘Hati Kata-kata’. Tugasku hanya mendengar, menghapalkan, lalu ikut membawakannya di pentas-pentas Atisejati setelah itu.

Awal 2012, Atisejati berproses mengerjakan musikalisasi puisi-puisi baru. Setiap anggota mendapat jatah puisi yang harus dimusikkan. Aku dengan keterbatasan kemampuan musikku, selalu mengerjakan musikalisasi puisi dengan sederhana. Mengingat lagu-lagu di Album Hati Kata-kata yang menurutku sangat ‘kaya’, aku sempat minder. Toh tetap aku lakukan bagianku semampunya. Pada bagian-bagian tertentu aku stuck dan menyerah.

Ketika kuperdengarkan hasil komposisiku kepada teman-teman anggota yang lain, ah ya, benar saja. Ada hal yang membuat mereka tertawa, karena komposisiku yang terlalu sederhana, yang bahkan katanya lebih cocok dibawakan oleh girl band. Aku sama sekali tidak tersinggung. Aku malah merasa tersanjung, karena bahkan komposisi yang sederhana itu tetap dipakai. Tentu saja, harus dipoles lagi.

“Nanti kita awur bareng-bareng, kita juga biasanya begitu”

Begitu kata Adith, arranger andalan Atisejati. Ngawur, katanya. Asem tenan. Bagaimana sebuah pekerjaan ngawur bisa menghasilkan karya yang begitu keren?

IMG-20121209-01705

Maka di materi-materi baru, aku ikut terlibat, ‘ngawur’ bersama mengerjakan beberapa musikalisasi puisi. Sama sekali tidak ngawur. Aku lebih suka menyebutnya ‘merdeka’. Tidak terkekang satu warna, siapa saja bisa usul. Dan yang mungkin bisa dibilang ngawur (saking merdekanya) adalah, main tabrak dalam aransemen musik dan vokalnya. Tapi toh hasilnya asik banget. Continue reading