(Bukan) Lari dari Kenyataan

Sebuah catatan lari-larian sepanjang 2023, yang ternyata lumayan juga. Sebagian karena pengin sendiri, sebagian karena ingin lari bareng-bareng dengan handai taulan sanak saudara.

Event pertama yang aku ikuti adalah Run Against Cancer bersama teman-teman yoga bertutu di 5 Februari 2023. Ikut yang 5 km, kali ini benar-benar lari senyamannya tapi penuh makna, bersama salah seorang teman survivor. Semoga dukungan teman-teman di sekitar bisa membuat para warrior/survivor semakin kuat.

Seperti tahun sebelumnya, start dan finish di Sampoo Kong, rutenya di jalanan yang sebagian kurang nyaman. Tapi secara keseluruhan tetep oke.

Yang berikutnya di 22 juni, Lari Dari Kenyataan, fun run yang diadakan oleh Hotel Dafam semarang. Kali ini lari bareng bestie, rutenya 6 km lebih, jadi event pertama buat dia. Tes kapasitas katanya. Lolos tes lah ya.

Karena tahun lalu tidak dapat slot di Borobudur Marathon, tahun ini setidaknya ikut rangkaian pre-race dulu. Bank Jateng Friendship Run di Semarang digelar pada 25 juni, walaupun berangkat wani mati sendiri, senang juga akhirnya ketemu teman-teman di tempat acara. Start dan finish di salah satu gedung ikonik kota Semarang, Lawang Sewu. Rute sepanjang 5 km yang tetep, event di Kota Semarang kayanya kurang afdol kalau tidak lewat Kota Lama.

Pada suatu hari tiba-tiba dapat edaran untuk ikut Jateng 78th Anniversary Fun Run. Sepertinya ini karena Pak Gub, Bu Gub, dan Pak Sekdanya hobi lari. Akhirnya janjianlah sama teman-teman dari beberapa instansi, menempuh 7,8 km dengan Start dan Finish di Halaman Kantor Gubernur pada 13 Agustus. Selain foto bareng Pak Sekda, sempat foto bareng Pak Gub dan Bu Atikoh juga, tapi fotonya di mana yaaa….

Barengan dengan acara jalan sehat di kampung, akhirnya memilih gabung di Harmoni Fun Run yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Undip di 20 Agustus. Soalnya sudah terlanjur beli slot, dan sudah janji pada anakku untuk lari bareng dia. Dia protes karena tidak diajak lari di Dafam dan Jateng Friendship Run :))

Seperti ketika lari-lari latihan, pace-nya terjaga di 10, dia berhasil mengelilingi segitiga emas semarang dalam 1 jam 5 menit. Ya sambil terus agak ditarik atau didorong sih.

Virus lari-lari menyerang keluarga besar. Jadilah di 17 September kami rame-rame ikut SHA Run For Solo. Start dan finish di Stadion Manahan, semua ambil kategori 5 km meskipun ada 10K dan HM. Semua finish dengan waktu masing-masing dan iya di sini aku tidak mengejar cepat karena yang penting menemani anakku sampai finish. Event yang lumayan megah, semoga tahun depan ada dan bisa ikut lagi.

Lari bareng lagi di IARMI Run Solo tanggal 29 Oktober, kami memutuskan bikin komunitas lari. DIESEL, dhilit dhilit kesel, rasah adoh-adoh sing penting kemringet (sebentar-sebentar capek, tidak usah jauh-jauh yang penting berkeringat). Oh I love these people.

Start dan Finish halaman Kantor Walikota Solo, dengan rute yang lumayan eksotik karena melewati seputar kraton dan Pasar Klewer. Pesertanya sedikit sih, sekitar 300-an orang. Flag off pukul 06.30 lumayan panas ya. Sempat kudengar salah satu peserta berkomentar, “Lha iki pesertane gur nembelas (Lha ini pesertanya cuma enam belas)” Saking sedikitnya hahahaha.

Bukan 10 K virgin tapi Borobudur Marathon virgin. Daftar sudah sejak bulan Mei meskipun eventnya baru dilaksanakan 19 November. Keren banget sih. Vibesnya luar biasa. Diikuti 10 ribu lebih peserta dan terorganisir rapi. Finish dengan catatan waktu 1 jam 13 menit terasa sangat keren karena selama lari beberapa bagian terasa berat. Rutenya mengandung tanjakan dan turunan. Tapi Cheering Team-nya heboh jadi beneran nge-charge. Power up setiap rasanya mau melemah.

Dan melihat teman-teman yang berhasil finish HM, aku jadi semangat tahun depan pengin ikut yang HM juga.

Menutup 2023 dengan event paling heboh di Semarang: Semarang 10 K. Beruntung bisa dapat slot mengingat slot terjual habis dalam waktu 5 menit. Flag off lebih pagi, pukul 05.30, menjadikan race yang nyaman karena medan datar ini tetap nyaman tidak kepanasan. Seorang teman batal daftar race ini setelah Borobudur Marathon. “Magelang yang adem aja aku kepanasan, ga kebayang lari 10 kilo di Semarang.” Alhamdulillah ternyata aman. Catatan waktuku juga naik dibanding saat Bormar, jadi 1 jam 07 menit. Mungkin karena medan dan cuaca yang lebih nyaman ya. Begini masih kalah sama Bu Atikoh. Aku sampai di Finish beliau sudah selesai foto-foto. Nah gini ini yang bikin semangat. Bukan pengin ngalahin Bu Atikoh, tapi terinspirasi dan termotivasi untuk tetap bugar seperti beliau. Idola!

***

Tahun depan ikut event apa ya? Run Against Cancer ditiadakan karena berbarengan dengan Pemilu. Pocari Run war-nya gila-gilaan dan berakhir tidak dapat slot.

Continue reading

Melar Mungkret Di Pasar Karetan

Sebenarnya sudah lumayan lama penasaran, pengin nginguk Pasar Karetan. Lokasinya memang di Desa Meteseh, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal. Tapi karena dapat diakses dari Kota Semarang, jadilah Pasar Karetan ini lebih kondang sebagai Wisata Semarang. Untuk menuju ke Pasar Karetan aku mengambil jalur dari Kecamatan Gunungpati, Semarang (dengan kendaraan pribadi). Sepertinya belum ada angkutan umum menuju Desa Meteseh. Tapi taksi atau taksi online mungkin bisa.

Berlokasi di area perkebunan karet, tepatnya di area Radja Pendapa Camp, pasar ini dibuka setiap hari Minggu mulai pukul 06.00 – 11.00. Sekitar 800 meter sebelum lokasi pasar, disediakan lahan parkir untuk mobil maupun motor, karena jalan menuju lokasi lumayan sempit. Pengelola pasar menyediakan odong-odong gratis untuk mobilisasi pengunjung dari parkiran ke Pasar.

Belanja di Pasar Karetan tidak bisa pakai uang rupiah yang kita pakai sehari-hari. Kita harus menukarkan uang kita dengan ‘girik’ khusus untuk berbelanja di Pasar Karetan. Jika ternyata uang yang kita tukarkan tidak habis dibelanjakan, bisa ditukarkan ke uang rupiah kembali.

Pusat Penukaran Girik

Mata Girikan

Ada pecahan 10.000, 5.000, dan 2.500.

Ada banyak gerai kuliner khas yang bisa dikunjungi. Di antaranya adalah:

Gendar Pecel

Aneka Bubur

Gubug Khusus Pecinta Kopi

Ada aneka dawet dan minuman segar, serta rupa-rupa kuliner tradisional lainnya.

Banyak obyek foto buat yang suka fotografi…

Ada aneka permainan tradisional yang bisa dicoba. Dijamin tidak kalah seru dengan game di handphone

Egrang dan hulahoop

Kalau capek muter dan sudah kenyang, bisa leyeh-leyeh sebentar di hammock yang disediakan…

Sambil mendengarkan live music

Bojakarta!

Dan ada area khusus pecinta selfie! Ada spot-spot instagrammable dengan background view yang menarik (baca: mainstream :D). Juga ada arena panahan lengkap dengan instruktur berpengalaman, bagi yang ingin mencoba belajar salah satu sunnah Nabi….

Area wajib.

Kendaraannya mungkin ‘hanya’ odong-odong, tapi penumpangnya (diharapkan) tertib seperti di Singapura atau Hongkong.

Budayakan antri!

Jadi gimana, apakah infonya cukup menarik? Cukup lengkap? Atau kurang lengkap? Ya… itu kan supaya penasaran…. Supaya tidak penasaran, silakan deh kunjungi. Kalau ada yang terlewat olehku, siapa tahu, tolong kabari ya!

A Simple (Taboo) Way to Make Everyone’s Day


Di Kantin Staf Bandara Changi, semacam pujasera dengan gerai-gerai halal dan non halal; tempat para pekerja makan pagi, siang, petang, ada berbagai pilihan hidangan Tiongkok, India, juga Indonesia (Kantin Padang yang tidak jual rendang…). Banyak hal menarik yang kulihat di sana. Salah satunya rak tempat mengembalikan nampan ini.

Setiap pengunjung yang selesai makan, diharapkan mengembalikan nampan berisi piring dan gelas yang telah mereka pakai, bukan meninggalkannya di meja. Petugas kebersihan mengambil peralatan kotor dari rak ini, bukan datang ke meja satu per satu. Mereka mendatangi meja hanya untuk mengelap.

***

Return your trays, that’s the way to make everyone’s day.

Kembalikan nampan Anda, agar semua bahagia.

Sekilas sederhana. Tapi ini benar. Petugas kebersihan tidak terlau sibuk. Pengunjung berikutnya bisa langsung menempati meja yang kosong, tanpa harus menunggu ada yang menyingkirkan alat makan yang usai dipakai.

Di rumah, aku membiasakan anak-anak untuk membawa piring ke bak cuci, setiap kali selesai makan. Sekarang setelah mereka makin besar, mereka harus mencuci sendiri piring mereka. That’s how you make everyone’s day. Ini hal sederhana yang sangat membantu menjaga rumah tetap bersih dan rapi.

Tapi pernah aku dibikin terpana karena hal ini. Aku ditegur karena telah membuat anak-anakku melakukan hal yang tabu. Laki-laki membawa piring kotor ke dapur — apalagi sampai mencuci. Dan aku waktu itu benar-benar ternganga. Di mana letak ‘tabu’-nya ikut menjaga kebersihan rumah dengan cara sederhana seperti itu? Oh, mengapa sekedar isah-isah harus jadi kewajiban perempuan dan hal memalukan bagi laki-laki?

***

Aku bersyukur bahwa Bapak dan Ibuk tidak pernah menganggap demikian. Di rumah kami, semua bertanggung jawab atas segala pekerjaan rumah. Siapa saja boleh (harus) melakukan apa saja yang diperlukan. Mengurus cucian (pakaian), cuci piring dan perabotan, nyapu-ngepel, masak. Tidak ada pekerjaan laki atau perempuan. Aku telah terlalu sempit melihat, hanya ke dalam rumah kami, dan mengira memang begitulah yang berlaku di semua rumah.

Apa ini bagian dari budaya patriarki?

Kapal Phinisi: Cetak Biru di Kepala

Akhir pekan kemarin aku dan anak-anak berkesempatan jalan-jalan ke Pantai Bira, di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Pantai Bira menyenangkan. Bersih, airnya jernih, dan tenang. Terlalu tenang malah. Minim ombak, jadi kurang seru, kata anak-anak.

Pantai Bira

Tapi aku ingin bercerita tentang satu tempat yang tak kalah eksotis. Pembuatan kapal Pinisi. Kapal Pinisi adalah kapal layar tradisional berukuran besar yang dibuat oleh orang Bugis atau Makassar Sulawesi Selatan. Ada dua tiang layar utama yang, yang mewakili dua kalimat syahadat, dan tujuh layar tambahan yang mewakili jumlah ayat di Surat Al-Fatihah.

Konon kapal Pinisi sudah mulai dibuat sejak sebelum tahun 1500. Nama Pinisi diberikan sebagai penghargaan kepada seseorang yang menyarankan perbaikan struktur layar dari kapal-kapal yang sudah ada. Dia dianggap memiliki kemampuan mendesain kapal yang lebih baik. Dan kapal Pinisi yang dibuat sampai sekarang adalah sesuai bentuk yang disarankan Pinisi.

Tempat pembuatan kapal di Desa Bira ini terletak di pantai tidak jauh dari jalan raya. Agak turun sedikit, melewati jalan yang agak serem juga kalau dilewati pakai mobil. Jadi kami memutuskan parkir di jalan raya dan turun dengan jalan kaki kira-kira 200 meter.

Saat kami tiba di sana, ada lima kapal besar dan tiga kapal berukuran lebih kecil yang sedang dikerjakan. Ada rangkaian upacara yang harus dijalani di setiap tahap pembuatan. Mulai dari penebangan kayu, peletakan lunas, sampai ke peluncurannya.

IMG_8077

Calon-calon pengarung lautan.

Kami sempat ngobrol dengan seorang Bapak pembuat kapal (dia menyebutkan nama tapi kurang jelas, dan kami juga rikuh mau nanya lagi). Dia berdelapan sedang mengerjakan satu kapal besar, beratnya nanti jika sudah jadi kira-kira 1000 ton. Kapal itu sudah dikerjakan hampir satu tahun, dan diperkirakan selesai tiga bulan lagi.

IMG_8065

Anak-anak berpose bersama Pak Azhar atau Pak Hajar (atau siapa?)

IMG_8053

Papan kayu dikeringkan maksimal sebelum dipasang.

Kayu yang dipergunakan adalah kayu besi yang didatangkan dari Kendari.

IMG_8054

Kapal Pinisi masa kini dilengkapi baling-baling. Hanya satu baling-baling ini untuk kapal seberat 1000 ton.

Yang menakjubkan adalah, bapak-bapak itu tidak punya gambar kerja atau cetak biru. “Pembeli tinggal bilang saja, dia mau kapal ukuran berapa, nanti kami bikin,” kata si Bapak. Setelah tahu ukuran kapal yang diminta, mereka langsung bekerja begitu saja. Menjalankan tahap demi tahap sampai selesai. Kapal itu sudah jadi sebelum dibuat, katanya. Raksasa cantik ini dipesan oleh pengusaha ekspedisi dari Jakarta, dan dibanderol 8 milyar rupiah.

IMG_8063

Celah antar papan dan lubang-lubang baut ditambal dengan dempul yang terbuat dari serbuk kayu dan lem khusus. Kerasnya sama dengan kayu besi yang asli.

IMG_8052

Si cantik dalam pengerjaan

Badan kapal yang dikerjakan Pak Azhar(?) sudah selesai. Kapal ini setinggi pohon kelapa. Dalam masa pembuatannya, untuk naik ke bagian atas kapal hanya ada tangga darurat dari papan-papan dan balok. Setiap diinjak mentul-mentul, dan licin pula. Para pembuat kapal itu santai saja naik turun sambil lari. Aku sudah mencoba naik pelan-pelan tapi tetap tidak berani sampai atas. Padahal aku pengin melihat, apakah geladak sudah dikerjakan. Akhirnya cukup harus merasa puas melihat kabin tampak dari bawah sedang dikerjakan.

Delapan orang. Satu tahun. Tanpa gambar kerja. Seribu ton. Delapan milyar. Dan kelak akan mengarungi samudera. Menjadi kapal ekspedisi, atau kapal pesiar keliling dunia. Dengan perawatan yang baik, sebuah kapal Pinisi bisa beroperasi lebih dari 15 tahun.

Kami meninggalkan tempat itu membawa ketakjuban. Beberapa kali aku menoleh ke belakang melihat lagi, dan takjub lagi, sebelum akhirnya masuk kendaraan dan melanjutkan perjalanan.

***

Kalau punya uang delapan milyar, kamu pilih beli Lamborghini atau Kapal Pinisi?

 

Gula Tumbu dari Sulang

Selama ini mungkin banyak dari  kita yang hanya tahu bahwa tebu dibikin gula pasir, sedang gula merah dibikin dari nira kelapa atau aren. Satu hal yang membuatku mensyukuri perjalanan yang kulakukan, pengetahuan yang selalu bertambah. Ternyata tebu juga bisa dibikin gula merah.

Hari Senin lalu aku berkesempatan jalan-jalan ke Desa Kebonharjo, Kecamatan Sulang, Kabupaten Rembang. Kami berkunjung ke rumah salah satu pengrajin gula merah. Desa Kebonharjo adalah salah satu sentra tanaman tebu di Jawa Tengah. Hasil perkebunan tebu dikirim untuk diolah menjadi gula pasir di Pabrik Gula Trangkil.

Sebagai bahan baku gula pasir, pabrik gula mensyaratkan randemen tertentu. Banyak faktor yang mempengaruhi randemen. Waktu panen, lama pengangkutan, kualitas varietas tebunya. Panen yang terlalu cepat atau terlambat dapat mempengaruhi kadar gula dalam tebu. Demikian juga waktu antara penebangan hingga pengolahan. Setelah lewat 24 jam, randemennya  juga akan turun, karena kadar air dalam tebu berkurang oleh penguapan. Selain permasalahan dalam ‘tubuh’ tebu sendiri, kapasitas pabrik juga mempengaruhi randemen. Mesin-mesin pabrik tebu yang ada sudah beroperasi sejak jaman berdirinya pabrik di jaman Belanda. Bisa dibayangkan, kemampuan mesin yang sudah jauh dari optimal.

Sementara jika diolah sendiri, walaupun dengan cara tradisional, randeman tebu bisa lebih tinggi. Jika gula hasil pabrik randemennya sekitar 5-7 saja, dengan diolah senidiri hasilnya bisa 10-11. Sehubungan dengan kapasitas mesin pabrik juga, pabrik tidak bisa menerima hasil panen tebu setiap saat. Karena itu dibuat jadwal yang disepakati antara petani dengan pabrik. Setiap petani mengirim hasil panen pada hari tertentu. Dengan cara ini diharapkan tidak ada antrian truk bermuatan tebu. Tebu yang dibawa dari perkebunan bisa langsung diolah sebelum 24 jam.

Karenanya banyak petani tebu Desa Kebonharjo yang memilih mengolah sendiri hasil panenan mereka menjadi gula merah. Bahkan ada juga pengrajin gula merah yang tidak punya kebun tebu. Mereka membeli tebu yang tidak disetor ke pabrik. Ada 18 pengusaha pengrajin gula merah di sana.

image

Pembuatan gula merah dari tebu di Desa Kebonharjo masih dilakukan secara tradisional. Batang-batang tebu diperas dengan mesin khusus (lupa tidak moto gambarnya…). Air perasan tebu dialirkan melalui pipa ke kuali besar paling ujung. Satu set tungku pembuatan gula merah terdiri dari sembilan kuali. Sambil terus diobori, cairan diaduk dan secara bertahap dipindahkan dari tungku pertama hingga tungku terakhir. Waktu yang dibutuhkan sampai cairan gula siap untuk dicetak antara satu sampai dua jam.

image_2

Setelah kekentalan cairan tepat (entah bagaimana mengukurnya, sepertinya bapak-bapak pengrajin itu pakai feeling dan kira-kira saja saking sudah ahli), gula dicetak di dalam tumbu (bakul bambu) berukuran besar. Karena cetakan yang unik inilah, gula merah produksi Desa Kebonharjo lebih dikenal sebagai ‘gula tumbu’. Berat satu tumbu gula setelah jadi bisa mencapai 150 kg. Wow.

image_3

Satu tim yang terdiri dari 4-5 orang bisa memproduksi gula merah 50 tumbu seminggu, sekitar 70-100 kuintal seminggu. Seminggu sekali, gula yang sudah padat dicetak ini akan diambil oleh pengepul, untuk kemudian dikirimkan ke pabrik kecap. Orang Tua dan Indofood adalah dua pabrik kecap besar yang juga mengambil bahan baku gula merah tradisional ini.

image_4

 

Kelompok petani pengrajin gula merah di Desa Kebonharjo, saat ini sedang bersiap untuk lebih mengembangkan produksi mereka. Dengan bantuan pemerintah dan beberapa lembaga penelitian, sedang dirintis pembuatan gula merah yang lebih higienis dalam cetakan kecil untuk konsumsi rumah tangga. Selain itu juga pengolahan limbah tebunya untuk pupuk organik dan etanol.

Semoga inovasi mereka berhasil, sehingga lebih banyak manfaat yang dihasilkan. Dan kita bisa ikut menikmati gula merah dalam ukuran yang lebih bersahabat untuk ditenteng ibuk-ibuk yang belanja di pasar 😀

 

 

Bangun Tengah Malam

Tidak. Ini bukan cerpen atau puisi. Ini cerita tentang puisi Irwan Bajang, berjudul Bangun Tengah Malam, yang kulagukan bersama Iwan dan Ipank.

Cerita berawal dari selewat wara-wara di twitter tentang lomba musikalisasi puisi tanggal 20 Desember 2013 lalu, Musim Para Penyair, yang diadakan Indiebookcorner bekerja sama dengan Warkopbardiman. Menarik. Apalagi selama ini aku belum pernah ikut lomba semacam ini. Secepat aku sempat, aku download materi yang menjadi bahan lomba. Ada 4 file pdf buku puisi milik Irwan Bajang, Bernard Batubara, Mario Lawi, dan Nanang Suryadi. Aku sengaja hanya mengambil dua buku. Bukan apa-apa. Aku hanya tidak mau dihadapkan pada terlalu banyak pilihan. Makin banyak buku yang aku buka, pasti makin banyak puisi yang menarik untuk dimusik-kan. Dan aku akan makin bingung.

Jadi setelah scroll-scroll  file Bernard dan Irwan Bajang, aku memilih dua puisi dari masing-masing penyair. Hal pertama yang aku perhatikan dalam memilih puisi yang hendak kumusikkan, adalah tipografinya. Baru kemudian aku lihat isinya. Jika tipografinya asik tapi isinya tidak asik, tidak jadi lah kupilih.

Aku punya kebiasaan, menulis dengan tangan puisi-puisi yang hendak kulagukan. Dari empat puisi yang kupilih itu, Bangun Tengah Malam yang pertama kali kusalin. Pada saat menulis larik pertama, ‘bangun tengah malam’, di benakku langsung mengalir nada untuk kalimat itu. Aku sempat berhenti sejenak sebelum lanjut menulis. Terus terang ini aneh, belum pernah begini. Aku menuliskan baris berikut dan berharap ada nada lagi muncul. Ternyata tidak. Tapi… karena sudah muncul nada, setidaknya di baris pertama, aku memutuskan memilih puisi ini dan mengabaikan tiga lainnya. Aku bahkan lupa yang mana, tiga itu.

Boleh dibilang, keinginanku mengikuti kompetisi ini lebih karena ingin terlibat dengan pelaku musikalisasi dari luar Semarang. Bukan menargetkan kemenangan atau hadiah. Melagukan puisi sejak 2010, selama ini aku dan teman-teman rasanya hanya uplek-uplekan di seputar Semarang, Kendal, Kudus, Pati. Sampai-sampai ada yang menjulukiku ‘jago kandang’. Memang bersama Atisejati aku bisa ke Solo dan Yogya. Tapi itu beda…

Ini benar-benar proyek kebut-kebutan. Dua hari membuat komposisi, satu hari latihan, dan besoknya direkam. Akhirnya ‘Bangun Tengah Malam’ launch di soundcloud. Sungguh lucu, ketika aku mengabari si empunya puisi, aku ditanya apakah aku sudah mendengarkan musikalisasi atas puisi yang sama, di CD yang disertakan dalam buku Kepulangan Ke Lima. Loh. Jadi puisi ini sudah dibuat musikalisasinya? Aku baru tahu. Tentu saja belum pernah dengar. Kubilang: nanti mas, kalau aku menang kompetisi ini, aku akan pakai hadiahnya untuk beli buku dan albumnya.

Sebenarnya, aku tidak pernah pede ikut lomba yang penilaiannya dengan vote dari pemirsa. Untungnya di Musim Para Penyair, vote hanya diberi porsi 25%, sedang 75% penilaian dari juri. Meskipun begitu aku tetap rajin promosi ke sana kemari. Tiap hari pasang link di FB dan Twitter. Bahkan memberanikan diri njawil teman-teman dan terus terang minta dukungan. “Tolong putar ya, tinggalin komen, tinggalin hati….” Aduh.  Jan-jane aku rikuh kalau disuruh melakukan ini… Alhamdulillah aku punya teman-teman baik yang dengan senang hati memberi dukungan. Terima kasih semua. Maaf ya kalau ngiklannya kelewatan…

Setelah sempat diundur seminggu, akhirnya Sabtu, 18 Januari 2014 diumumkan juga hasil lombanya. Juri memilih Bangun Tengah Malam-ku menjadi pemenang lomba. Bersyukur banget. Apalagi saingannya datang dari mana-mana. Yogya, Gresik, Bali, Surabaya. Senang. Tapi kemudian sebal. Sebal yang sekaligus senang. Piye jal. Panitia mengundangku untuk hadir di malam puncak Musim Para Penyair. Untuk menerima hadiah, sekaligus perform beberapa lagu. Senang karena diundang. Sebal karena mendadak. Tapi tetap menang senangnya sih…

image

image_1

MPP3

Jadi kemarin, berangkatlah aku bersama Iwan dan Ipank dan Lulu, menghadiri malam penganugerahan pemenang lomba musikalisasi dan baca puisi di Musim Para Penyair. Ketemu langsung dengan (dan mendapat buku bertanda tangan) penyairnya . Dan yang  lebih menyenangkan adalah perasaan baru yang muncul karena tampil di depan audiens yang benar-benar baru. Berkenalan dengan teman-teman baru. Lihat, aku bukan jago kandang 😀

Musim Para Penyair yang mengajak kita merayakan puisi dengan gembira ini menyenangkan. Menjadikan puisi bukan lagi hal yang mengajak kita berkerut dahi. Serius tapi terasa ringan. Kita diajak belajar mengenal, menulis, membaca, dan mengapresiasi puisi dalam bentuk karya yang berbeda. Mudah-mudahan terus berkelanjutan dan lebih meriah lagi.

Bagi yang belum mendengarkan, atau ingin mendengarkan lagi, atau ingin download supaya bisa didengarkan lagi dan lagi, silakan kunjungi soundcloud-ku.

Terima kasih Mas Irwan, Bagustian, Warkopbardiman, kawan-kawan di Yogya. Semoga bisa jumpa di lain kesempatan.

Semarang: Hidden Heritage

Sebenarnya ini cerita telat seminggu. Tapi tak apalah dibagi…

Tanggal 6-8 September kemarin, di Kawasan Kota Lama Semarang digelar even kerja sama lintas komunitas budaya, yang didukung penuh oleh pemerintah kota. Acara bertajuk ‘Hidden Heritage’ merupakan sebuah gerakan kreatif urban untuk pengaktifan Ruang Terbuka Publik yang inspiratif bagi Kawasan Kota Lama yang sekian lama tertidur. Berbagai acara digelar selama festival. Ada musik : Jazz, Koesplusan, Bohemian, Gambang Semarang, Reggae; atraksi barongsay, Festival Kethoprak, Kampung Antikan, Pameran Kuno-kini on the Street, Garuda Park Art Jamming, Chalk Art, seni lukis henna dan masih banyak acara lain yang menarik.

Penginnya sih semua acara didatangi. Tapi aku sudah bisa bersyukur menjadi saksi sebagian yang bisa kubagi ini:

20130918-100345.jpg

Perkumpulan Pecinta Vespa

20130918-100402.jpg

Warak Ngendog istimewa

20130918-100421.jpg

body painting dengan henna

20130918-100432.jpg

pameran foto Koeno Kini, yang menyandingkan foto-foto bangunan di kawasan kota lama tempo dulu dan masa kini…

20130918-100451.jpg

seni kreatif dengan kardus. unyuuuu…

20130918-100512.jpg

kelompok Keroncong Karimoeni di perform di Taman Garuda

20130918-100522.jpg

anak-anak ikut melukis berjamaah di kanvas agak raksasa

20130918-100541.jpg

chalk painting. super keren!

***

Sepertinya kawasan Kota Lama Semarang akan semakin hidup. Berbagai komunitas seni dan budaya di Semarang semakin rajin menggelar kegiatan di sana, baik yang rutin maupun yang tidak. Keren ya 😉