Menujumu dan Nol Koma Dua Derajat Menyimpang ke Selatan.

Kereta bergerak pelan meninggalkan stasiun awal, sedikit demi sedikit menambah kecepatan. Besok pagi sekitar waktu subuh dia akan berhenti di stasiun akhir. Aku akan punya sedikitnya empat jam sebelum pertemuan yang dijadwalkan. Dan tentu saja semalaman di atas kereta untuk memikirkan apa yang akan kulakukan. Karena aku tahu sekeras apa pun aku mencoba, atau sesantai apa pun, aku tidak akan bisa tidur.

Satu stasiun terdekat terlewati. Aku senang bisa melewatkan waktu dengan berlambat-lambat menyantap nasi ayam cepat saji yang kubeli sebelum naik ke gerbong. Kali terakhir aku naik kereta, menu yang ditawarkan oleh petugas resto menyedihkan. Terpaksa kutelan. Sebagian karena lapar, dan sisanya karena ibuku selalu mengingatkan untuk tidak membuang makanan.

Sekarang apa?

Membuka ponsel. Main game. Cek sosmed di jam yang mulai sepi. Mataku lelah. Membuka buku tidak membantu. Bagaimana kau berharap bisa tidur dengan lampu yang begini benderang? Kupejam mata dan kututup pula dengan selimut. Derak roda kereta di atas rel terdengar seperti suara semen pembungkus ingatan di kepala yang meretak. Tidak. Jangan sekarang. Jangan pernah.

***

“Selamat pagi,” bisikmu lirih.

Tirai jendela sedikit terbuka, membiarkan sebagian sinar matahari mengurangi kegelapan di dalam kamar.

“Masih ngantuk?”

“Hmm…”

“Kamu mau sarapan sekarang apa nanti?”

“Bisa nggak sih kamu nggak usah mikirin mau makan apa? Di bawah banyak orang jual makanan.”

“Aku ndak mau kamu kelaparan.”

“Aku nggak gampang lapar.”

“Mungkin kamu harus kukuras sekali lagi….”

***

Stasiun ketiga. Aku lapar. Gerbong resto hanya berjarak satu gerbong. Tapi membayangkan menunya malah bikin perutku makin sedih. Aku minum beberapa teguk teh manis kemasan botol paketan nasi ayam tadi. Kutekan bantal ke perut agar terasa hangat. Ibu di sebelahku punya keripik kentang yang diselipkan di kantong kursi. Tidurnya nyenyak. Kalau kuambil apa dia akan terbangun?

Uhm. Kantong plastik dan keripik kentang adalah makhluk yang berisik. Aku memilih memejamkan mata lagi.

***

Bunyi Microwave selesai memanaskan lauk. Dia sibuk. Dan aku hanya duduk menikmati teh yang sudah lebih dulu diseduh.

“Aku mau bantu nyiapin sarapan.”

“Ini sudah hampir selesai kok. Nasinya sudah matang. Tinggal mindahin lauk ke mangkok.”

Aku turun dari kursi membuka kulkas.

“Cari apa?”

“Siapa tahu kamu menyimpan perempuan lain di sini.”

Dan aku dapat kecupan kecil di pipi.

Aku menemukan mangga. Kukupas dan kupotong sebisaku.

“Nggak rapi motongnya. Kalau kamu terganggu jangan lihat. Merem aja. Kalau mau makan nanti aku suapin,” kataku.

Tapi dia meraih garpu dan mulai makan sepotong demi sepotong.

***

Stasiun keempat baru saja dilewati. Sepertinya aku sempat tertidur sebentar. Lumayan. Duduk dalam keadaan sadar – dan sesekali terlelap – selama berjam-jam sungguh tidak nyaman. Bahkan dengan reclining seat, selimut dan bantal. Harusnya aku bawa bantal leher. Mungkin bisa bikin lebih nyaman. Mungkin juga tidak.

Aku berdiri meluruskan punggung dan  kaki. Berjalan ke toilet bukan karena ingin buang air kecil, hanya karena supaya sendi-sendiku bergerak. Semua penumpang diam. Tidur. Satu dua sibuk dengan ponsel. Kau tahu. Walaupun sebenarnya tidak ingin kencing, tapi begitu masuk ke toilet, kecuali toiletnya jorok, kandung kemihmu otomatis mengendorkan sumbat.

Aku sengaja berdiri di bordes sebentar sebelum kembali ke tempat duduk. Ibu di bangku sebelah belum berubah letak.

***

“Aku mau beli microwave untuk di rumah.”

“Beli lah.”

“Jadi aku bisa beli makanan beku-bekuan, atau beli di warung sore hari. Pagi tinggal manas-manasin.”

“Atau kamu bisa menyimpan sisa masakan di freezer dan dimakan lagi beberapa hari kemudian supaya ndak bosan.”

“Aku beli microwave supaya nggak perlu masak.”

Dia tersenyum melanjutkan makan.

“Makanan di pesawat itu nget-ngetan bukan?”

“Iya.”

“Dipanasi pakai microwave juga?”

“Iya.”

“Kok nggak enak?”

“Bukan microwave yang bikin masakan enak atau ndak enak. Tapi tergantung apa yang dimasukkan.”

“Semua yang kamu masukkan ke microwave enak.”

“Karena aku yang masak.”

“Boleh nggak aku tinggal di sini terus?”

***

Kereta melambat memasuki stasiun kelima. Hari sudah hampir pagi. Aku belum tahu apa yang akan kulakukan sesampai di stasiun akhir nanti. Aku kesal dengan ingatan yang merembes dari kepalaku sepanjang perjalanan.

Kuraih ponsel yang sudah kudiamkan semalaman. Aku tidak tahu ini ide bagus atau bukan. Aku bahkan tidak yakin pesan ini akan sampai. Atau diperhatikan.

hai. aku perjalanan ke kotamu. satu stasiun lagi. aku harus menunggu sampai pukul sepuluh. mungkin kamu mau menemani aku sarapan di stasiun.

***

“Maaf ya, aku tidak bisa mengantar ke bandara.”

“Iya. Gapapa.”

“Nanti aku temani menunggu taksi di bawah.”

“Iya.”

“Barang-barangmu sudah siap?”

“Sudah.”

Aku memeluk dia sekali lagi. Tidak ingin kulepas. Aku tidak ingin beres-beres. Aku tidak ingin pergi dari sini. Dia melepaskan pelukanku pelan.

“Boleh aku tinggalkan sikat gigi di sini?” tanyaku.

“Tentu. Akan kusimpan supaya kamu tidak perlu bawa lagi kalau mau ke sini.”

“Kamu ingin aku ke sini lagi?”

“Aku menanti kamu ke sini lagi.”

***

Perjalanan hampir berakhir. Sebentar lagi kereta memasuki stasiun terakhir.

Seperti takut kehabisan waktu, segala kenangan tumpah sekaligus. Malam-malam. Dan pagi-pagi. Dan siang-siang. Semua waktu yang terlewati bersama. Berulang. Seperti tak ingin henti. Namun tiba-tiba hilang.

Tidak ada penjelasan. Pesan-pesan yang sampai tapi tak terbalas. Panggilan-panggilan yang tidak berjawab. Pertanyaan-pertanyaan yang terabaikan. Pernah terpikir untuk tiba-tiba saja datang, apa pun yang kutemui aku sudah siap dengan jawaban, ‘saya mau ambil sikat gigi.’ Tapi tidak pernah kulakukan. Setelah beberapa bulan akhirnya aku berhenti. Menyumpahi sikapnya yang kuanggap pengecut. Menghibur diri dengan bersyukur bahwa aku dijauhkan dari laki-laki brengsek. Tapi tentu saja aku sadar aku membohongi diri sendiri. Tangis yang tersembunyi itu butuh waktu sangat lama untuk berhenti.

Kereta berhenti. Sebuah pesan masuk.

Aku tunggu di pintu keluar utara. Kamu bisa mandi dan istirahat di apartemen sambil menunggu acaramu mulai.

ikan di stasiun

Rush

 

IMG_7845

Anakku cuma Aik. Danang menitipkan aku dan Aik di sebuah hotel. Atau mungkin apartemen. Kami berbagi kamar dengan seorang Ibu dan anak perempuannya. Sore menjelang malam, seorang pria dibawa masuk ke kamar kami dan dibaringkan di ranjangku. Ada balutan perban di beberapa bagian tubuhnya, dan infus terpasang di lengannya.

“Apa?” tanyaku. Perempuan yang mengantar laki-laki itu menjawab, “Dia baru saja menjalani operasi. Dia akan tinggal di sini sambil menunggu operasi berikutnya.”

“Tapi ini kamar saya.”

“Ini rumah sakit, dan kamar penuh. Anda yang masih sehat masa tidak mau berbagi ruang dengan yang kondisinya gawat?”

Perempuan itu pergi. Aku bertanya kepada ibu di ranjang sebelahku, “Rumah sakit?” Dia hanya tersenyum sambil menggeleng.

Apa-apaan ini?

Aik sedang bermain iPad bersama anak perempuan itu. Aku mengendap keluar kamar, melongok ke kedua arah lorong. Sepi. Aku beranikan diri berjalan keluar ke satu arah. Ada wastafel di ujung lorong. Tiba-tiba sebuah tangan menerobos pintu di samping wastafel, langsung menarik keran wastafel sampai lepas. Terdengar suara wanita tertawa keras melengking. Pintu terbuka, dan keluarlah wanita pemilik tangan itu, tinggi kurus dan berambut merah. Dia menatapku tajam. Aku kamitenggengen tidak bisa bergerak. Dia tertawa lalu lari entah ke mana. Air dari bekas keran di wastafel tidak mengalir, entah kenapa.

Buru-buru aku kembali ke kamar. Aik masih bermain bersama temannya. Si ibu duduk diam saja di ranjangnya. Laki-laki yang habis operasi tidur di ranjangku. Aku menelpon Danang. Sekali, dua kali. Baru diangkat.

“Ini bukan hotel, ini rumah sakit.”

“Rumah sakit apa?”

“Ada orang yang baru selesai operasi dibaringkan di kasurku. Ada perempuan berambut api mencabut keran wastafel di ujung lorong.”

“Kamu ngomong apa sih?”

“Kamu harus cepat ke sini! Segera!”

Perempuan di ranjang sebelah melihat semua kesibukanku tanpa komentar. Pria yang berbaring di ranjangku membuka mata, berkata lirih, “Ya, lebih baik kalian pergi, meskipun aku tidak yakin mereka akan diam saja.”

“Apa maksudmu? Mereka siapa?”

“Mereka mengincar ginjal anakmu.”

Aku bergidik, “Mereka siapa?”

Laki-laki itu tidak menjawab, memejamkan matanya lagi.

Aku mengemasi tas lalu menggandeng Aik keluar kamar. Kartu ATM BRI aku selipkan di saku celana, supaya nanti tidak ribet harus buka dompet kalau mau tarik uang setelah keluar hotel — atau rumah sakit atau apa pun nama tempat ini.

“Ke?” tanya Aik.

“Pergi.”

“Pergi ke?”

“Belum tahu.”

“Pad Aik?”

“Di tas Mami. Biar Aik tidak berat membawanya, ayo lari.”

“Lari ke?”

Aku tidak menjawab. Aik kugandeng berjalan setengah lari menuruni tangga darurat. Aik menghitung anak tangga dengan suara keras. “Sixty one, sixty two, banyak sekalli!”

Tangga darurat berakhir di pintu samping gedung. Kudorong dengan bahu karena satu tanganku memegang tas dan tangan yang lain menggandeng Aik. “Berat. Ugh,” Aik membantu mendorong walau bagiku tampak hanya menempelkan telapak tangannya di pintu.

Di samping depan bangunan ada mesin ATM, tanganku sudah hampir meraih pintu ketika seorang laki-laki mendahului membuka pintu sambil tersenyum sinis  kepadaku. Aku mundur selangkah, mengambil kartu di saku. Damn. Kartunya tertekuk. Ini kartu ATM apa kartu nama? Sambil menunggu laki-laki itu selesai aku terpaksa membuka tas, mengambil dompet, mengambil kartu lain sambil menyimpan kartu BNI yang rusak.

“Pad Aik,” Aik  melihat padnya di tas.

“Nanti.”

“Di rumah?”

Aku tidak menjawab, karena tidak yakin kami mau ke mana. Aku mencoba menelpon Danang lagi. Nada sibuk. Laki-laki itu keluar, aku menarik uang di jumlah maksimal penarikan.

“Ayo kita pergi,” kataku sambil menarik Aik.

“Ke?”

“Belum tahu.”

“Naik?”

“Taksi.”

“Ke?”

Aku tidak menunggu taksi di lobi. Kalau masuk lobi, mungkin aku malah tidak akan bisa pergi dari sini. Masih setengah berlari aku mengajak Aik keluar area gedung. Kulambaikan tangan ke taksi yang kebetulan lewat di sudut seberang jalan.

“Aik duduk depan.”

“Tidak. Aik duduk sama Mami.”

“Tidak boleh duduk depan?”

“Tidak.”

Kami duduk. Taksi jalan.

“Ke mana, Bu?”

“Keluar dari mimpi ini, Pak.”

Umuk

Makan siang selalu lebih menyenangkan kalau ada teman, meski kadang aku ingin sendirian. Kali ini aku menyambut ajakan Mbak Lala untuk makan siang bareng di kantin. Aku cuma harus siap mendengar curhatnya tentang teman-teman group whatsapp SMP atau gosip panas seputar teman-teman kantor.

Kantin penuh. Tinggal ada dua kursi kosong di meja yang sudah terisi. Ada Ida dan Miska. Gabung dengan mereka sepertinya asyik juga. Mereka sudah hampir selesai makan tapi jelas sama sekali tidak keberatan tetap tinggal sampai kami selesai makan. Kesempatan untuk bergosip lebih lama dan seru.

“Anakku itu lho,” Mbak Lala memulai, “nggak bisa diakali ayahnya.”

“Diakali gimana, Mbak?”

“Ayahnya udah janji, kalau diterima di SMP 2 mau dibeliin motor.”

“Lho tahun ajaran barunya bukannya sudah lama lewat? Ini semester 2 kan?” tanya Miska.

“Masuk SMP dijanjiin motor? Lha anak segitu mau dibolehin naik motor?” aku ikut bertanya.

“Iya… makanya itu. Udah bagus dia nggak ngamuk karena ditunda beberapa bulan. Maksud suamiku ya mau ditunda beberapa bulan lagi. Bukan karena nggak ada uangnya, cuma buat nunggu sampai dia agak gede dikit. Ya kelas dua apa kelas tiga gitu lah… Tapi anaknya udah nagih terus. Ya udah terpaksa deh…”

“Kelas tiga SMP juga belum boleh kan?” aku tanya lagi.

“Trus nggak bisa diakalinya di mana?” Miska juga lanjut bertanya.

“Alaaah… anak jaman sekarang itu bongsor. Nggak kaya kita jaman dulu, kurang gizi, badan kuntet. Ini naik Vixion udah nyampai lho kakinya! Udah kuat pegang setang juga. Aku sempat degdegan lihat dia wara wiri…”

“Wah Vixion…!”

Wajah Mbak Lala berbinar bangga. Makin bangga oleh ‘wah’ dari kami bertiga.

“Wah lumayan juga itu harganya, buat beli skuter matic-ku bisa dapet dua,” Ida melambungkan Mbak Lala lebih tinggi lagi sambil meminum sisa es jeruknya.

“Iya. Itu yang kubilang nggak bisa diakali. Maksudku beli skuter matic aja, yang agak kecilan. Judulnya beliin dia tapi nanti aku juga bisa pakai. Eh jebul nggak mau. ‘Kalau motorku ya aku yang milih,’ katanya.”

Pembicaraan tentang ‘uang bukan masalah’ dan ‘masih SMP udah boleh naik motor’ masih berlangsung sampai beberapa saat, sebelum berganti topik tentang gosip tentang Tari yang merayu bos lantai dua…

.

Esok harinya, pagi-pagi, aku baru saja duduk dan mulai membuka-buka berkas, Mbak Lala mendekat ke mejaku.

“Ning, ini kalau bukan ke kamu aku ndak berani.”

“Ada apa mbak?”

“Aku pikir ini tanggal 25, ternyata belum ya.”

Jreng jreng.

“Maksudnya?”

“Aku barusan cek rekening, belum ada transfer gaji.”

“Ya belum lah mbak. Besok gajiannya.”

“Aku pinjem dari kamu dulu ya. Lima ratus. Ada kan?”

“Nggak bawa Mbak, kalau cash segitu.”

“Kamu bisa ambil ke ATM to?”

“Lha kenapa kamu nggak ambil ke ATM kamu sendiri?”

“Rekeningku yang ada ATM-nya udah kosong. Tinggal di rekening satunya yang nggak pakai ATM. Malas lah kalau ke teller cuma mau ambil segitu.”

“Ya kalau memang butuh cash ya gimana lagi? Jangan-jangan rekeningmu emang ndak ada isinya…”

“Enak aja. Ada. Tapi memang aku nggak bikin ATM karena rekening itu sengaja buat tabungan, biar ga sebentar-sebentar ambil sebentar-sebentar ambil. Jadi nggak boros.”

“Ya udah sana ambil. Ini kan keadaan mendesak.”

“Udah dibilangin nggak cucok antri di teller ambil dikit…”

“Ya ambil yang banyaaaak! Biar cucok!”

“Aku nggak butuh banyak… cuma butuh lima ratus aja buat menyambung hidup hari ini. Nanti malem suamiku pulang bawa uang buat aku. Kan sayang kalau tabunganku aku ambil sekarang.”

“Ya tapi aku nggak ada cash lima ratuuuus…”

“Ya makanya kamu ke ATM…”

“Lihat ini kerjaanku segini… aku nggak tahu kapan kelar dan bisa ke ATM. Ini aja kayanya buat maksi aku bakalan pesen GoFood dan makan di ruangan.”

“Nggak harus sekarang, Non. Pokoknya hari ini. Kamu masih punya waktu sampai nanti sore. Oiya, hari ini aku harus pulang tepat jam empat. Jadi sebelum itu ya?”

Jreng jreng! Ini orang mau pinjam uang kok perintahnya seperti dia yang punya uang dan aku kacungnya.

Aku buka dompet, ada tiga lembar ratusan ribu. Kuambil dua lembar dan kusodorkan ke depannya.

“Nih ada dua ratus. Kalau mau ambil. Kalau nggak mau ya sudah. Aku nggak ke ATM hari ini.”

Dengan cemberut dia mengambil lembaran uang itu dariku lalu balik kanan.

“Besok gajian, jangan lupa balikin ya!” teriakku. Tidak ada jawaban. Ah Su.

Calo

*Dimuat di Jagad Jawa SOLOPOS, Kamis, 26 Oktober 2017

Rudy nglebokake amplop saka Pak Rohmat ing jero tase.

“Mugi lancar nggih Pak. Supados keng putra enggal saged makarya kanthi ayem. Panjenengan ugi lega…”

“Ya Mas. Dadi wong tuwa pancen ora bisa cul-culan, nadyan bocah wis rampung anggone sekolah. Dhuwit sak mono kanggo aku akeh banget. Anggonku nglumpukake saka kana kene. Ning yen kanggo bocah, aku ora bakal etungan.”

“Kasinggihan Pak. Panjenengan tuladha tumrap kula, anggenipun ndhukung lare mboten ngangge wates.”

“Yakin isa ketampa ta Mas?”

“Tepangan kula punika tiyang penting wonten Pemda Pak. Sak mangertos kula pikantuk jatah nanging kula inggih mboten mangertos, pinten kursi. Lha punika kula cepet-cepetan ndhaptaraken Mbak Mia. Mugi-mugi tasih katut…”

“Yen ora katut?”

“Menawi dereng katut, kula konduraken sedaya beya ingkang sampun panjenengan paringaken kula.”

“Yen ketampa aku kudu nggenepi?”

Rudy mung manthuk sambi mesem. Pak Rohmat ngunjal ambegan.

***

Loro. Kalah cacak menang cacak. Continue reading

Arab Gila!

Aku rindu pacarku yang Arab tapi mengajariku Bahasa Belanda.

***

Dia bicara padaku dengan Bahasa Inggris. Sesekali membiarkanku menjawab dengan Bahasa Indonesia, tapi ketika aku mulai panjang dan rumit dia akan, “English please.”

That’s good. Because both our English are limited. But it is also a little bit frustrating. Ketika aku ndak ngerti apa Bahasa Inggrisnya, lalu bicara Bahasa Indonesia, dan dia makin ndak ngerti. Dan berakhir dengan lambaian tangan, “Whatever!”

Aku menuliskan namaku dengan huruf Arab, dan dia sangat bangga aku bisa. Aku tidak bisa Bahasa Arab selain ana-anta huwa-hiya hadza-hadzihi dan beberapa kata benda di sekitar kita seperti buku dan meja dan kawan-kawannya. Tapi pacar Arabku sama sekali tidak ingin mengajariku Bahasa Arab. “Too complicated. I’d rather spend my time with you doing something else.” Yeah, me too, Honey. Lucunya, sesekali dia bicara padaku dalam Bahasa Belanda. Karena dia pernah sekolah di Belanda. Aku buta, jadi tidak bisa mengukur pula seberapa fasih Bahasa Belanda-nya. Dia bertanya apa aku mau belajar Bahasa Belanda yang katanya tidak serumit Bahasa Arab, aku tidak tertarik. “I’d rather spend my time with you doing something else,” kataku.

***

Aku -biasanya- takut gelap. Rasanya ruangan jadi sempit, dingin, dan bikin sesak dada. Makanya aku tidak pernah suka pergi ke gua. Segala piknik berbau gua sama sekali tidak menarik bagiku. Itu bukan refreshing. Itu stressing.

Tapi pacar Arab-ku membuatku suka gelap. Dia membuat gelap menjadi berwarna, dan hangat. Aku melihat   dan merasakan apa-apa yang tak nampak. Wajah tampan dan cambang halusnya -yang segera jadi panjang jika dia lupa atau malas bercukur dua hari saja- bisa kulihat dalam gelap. Juga kedalamannya. Sentuhan lebih peka menggantikan mata. Mungkin begitulah orang–orang buta melihat.

Aku tidak suka ruangan ber-AC, tidak tahan dingin. Aku bisa berakhir terus bersin-bersin dengan hidung berair.

Tapi pacar Arab-ku membuat ruangan ber-AC nyaman. “I’ll show you how to find warmth in aircond room.”

Lalu dia menanggalkan seluruh pakaian kami, dan menarik aku dalam peluknya.

“Masih dingin,” kataku.

“You’re a beginner.”

Lalu dia membawaku ke kasur, membaringkan kami berdua, menarik selimut menutup tubuh kami dengan sempurna.

“It’s dark,” kataku.

“You don’t need to see. Feel me.”

Pagi hari aku mendapati selimut kami sudah terjatuh ke lantai, dan kami berkeringat.

***

Aku rindu pacar Arab-ku. Tapi dia punya pacar di Arab. Yang sudah dia janjikan akan dia nikahi.

“There’s noway you’re gonna marry me, right?”

“Of course there is. If you would come with me to Arab.”

“And what about your girl friend?”

“I can marry you both.”

“Enak aja!”

“Yes of course, enak!”

“No it’s not enak!”

“But you said enak?”

“Nooooo! I meant it’s not enak!”

“Yes it is! Why…”

“Whatever!”

***

Aku tidak mau ikut ke Arab. Menikah dengan pacar Arab-ku. Lalu harus pakai cadar ke mana-mana. Dan sebenarnya tidak bebas ke mana-mana. Apalagi harus berbagi dengan pacar Arab-nya. Mana tahan.

Jadi kubiarkan dia pulang ke Arab, kembali bekerja ke perusahaan minyak yang membiayainya bersekolah di Indonesia.

“Kenapa sih kamu sekolah di Indonesia? Bukan ke Inggris, atau Amerika?”‘

“So I can meet you.”

“Yeah. And then leave me.”

“You don’t want to come with me.”

“You don’t want to stay.”

“I can’t stay.”

“I can’t go.”

***

Aku rindu pacar Arabku. Terakhir dia bicara padaku lewat Skype. Video call. Wajahnya tampan maksimal. Esok paginya akan menikah.

“I love you,” katanya.

“I know.”

“But…”

“I know.”

Lama kami diam. Membiarkan kamera tetap menyampaikan wajah kami.

“I hope you are happy,” kataku.

“I hope you are too.”

“I am when you are.”

He kissed me good bye. Then gone forever. Segala hal yang menghubungkan kami diputus. Aku yang minta.

***

Aku rindu pacarku yang Arab tapi mengajariku Bahasa Belanda.

Yaa habibie… Wat doe je nu? Ik mis je.

GENDAM

*dimuat di Jagad Jawa Solopos tanggal 9 Juni 2016*

gendam

 

Raine Prapto katon pucet. Mripate kosong. Durung kena dijak omong.

“Prap! Piye Prap?”

Nanging Prapto bola-bali mung odhah adhuh karo njenggungi sirahe dhewe.

“Ilang. Amblas. Modyar akuh! Kurang ajar!”

“Apa sing ilang? Apa sing amblas? Sapa sing kurang ajar?”

Prapto mung gedheg, “Embuh, aku ora ngerti… aku ora ngerti…”

Kira-kira jam sewelasan mau Prapto pamit arep menyang bank, jare mung arep ngeprint buku rekeninge. Mergane gaji saben sasi dikirim langsung menyang celengane, banjur dijupuk menawa sakwayah-wayah butuh nganggo kertu ATM. Jane ya bisa ngerti sisane dhuit neng bank isih pira. Nanging dinggo patut-patut jarene, ben bukune ora kosong. Tur bisa ethok-ethok ngecek, mlebu metune dhuit kepiye.

Bali-bali bocahe kaya wong linglung, kanca-kancane sing weruh dadi bingung. Bareng sawetara, Prapto wis rada tenang. Wis diwenehi ngombe, dijak maca alfatehah barang.

“Kurang ajar tenan, dhuitku ilang amblas.”

***

Ora kaya biyasane, aku mau rada dheg-dhegan nalika ngantri madhep mbak-mbak Customer Service.Dudu merga mbak-mbake anyar lan katon kinyis-kinyis, ning mbuh merga apa aku dhewe ya ora ngerti.

Rong puluh yuta. Persis angka sing metu ing struk ATM wingi sore. Pancen kudune ngono. Maune aku ngarep-arep, sapa ngerti ATM-e kleru, banjur angka sing metu ing buku sing dicetak langsung bisa dadi patang puluh utawa seket. Hayo jelas kuwi ora mungkin, mula aku ya mung ngguyu yen kelingan pengarep-arepku kuwi.

“Wonten malih ingkang saged kula biyantu, Pak?” pitakone mbak CS sing ngladeni.

“Mboten Mbak, sampun, maturnuwun.”

Rampung ngeprint aku langsung metu saka bank. Mlaku bali menyang kantor. Aku pancen ora nggawa sepeda montor, wong bank-e ora adoh saka kantor. Mung butuh limang menit yen mlaku alon-alon.

Metu saka pager bank, dumadakan aku dicedhaki wong lanang sing pawakane gedhe dhuwur, praupane bagus resik. Wong kuwi ngeplak pundhakku sajak kanca lawas, “Mas, piye kabare?”

Aku durung sempat kelingan sapa wong kuwi, ujug-ujug bareng kelingan, aku wis linggih ing buk cagak gendera pinggir dalan. Thenger-thenger nyekeli kertu ATM. Piye aku ora bingung? Ngapa kok aku nyekel kertu ATM ndomblong ing pinggir dalan?

Kanthi dheg-dhegan aku enggal mlayu bali menyang bank, marani mesin ATM sing ngadeg ing ngarep lawang. Rada nggregeli aku nglebokake kertu lan mijet angka sandi.

Modyar tenan.

Dhuitku kari telung ewu limangatus rupiah.

***

“Kok isa? Kowe mlaku sambi ngalamun apa piye?” Slamet takon sajak ora ngandel.

“Lha ya mbuh to Met. Rumangsaku ya aku ora ngalamun. Malah atiku bungah, celenganku rada lumayan. Aku bisa nukokkake ali-ali mas kanggo bojoku sing arep ulang tahun minggu ngarep.”

“Ha kuwi kan yo isa uga dadi ngalamun. Kowe mbayangke bojomu ngguya-ngguyu nampa pawenehmu. Banjur kowe diambungi. Kowe mlaku karo ngguya-ngguyu dhewe mbayangke bojomu.”

“Dhapurmu ah Met! Bojoku ki ora usah diwenehi ali-ali mas wis saben dina ngambungi aku. Lha pa bojomu sing saben dina mung prengat-prengut mecuca mecucu?”

“Wahahaha…. rumangsamu!”

***

Prapto durung ndhodhog lawang, nanging Murni  wis mbukakke lawang amarga krungu swara sepeda montore mlebu pager. Raine katon sumringah, kaya biyasane yen Prapto mulih. Ngambung pipine Prapto, banjur tase Prapto dijaluk, diselehake ndhuwur meja cilik cedhak tipi.

Prapto lungguh kanthi lemes.

“Ngapa he Mas? Kok katon lemes? Gaweyane akeh banget?”

Prapto gedheg.

“Didukani Pak Kepala?”

Prapto gedheg maneh.

“Lha ana apa?” Murni lungguh ing sandhinge, nyekeli tangane bojone sing sajak ora kuwat lungguh jejeg.

“Sepurane ya Mur. Iki mau aku kena alangan…”

Murni meneng. Nyawang Prapto. Ngenteni terusane.

“Aku mau menyang bank niliki celengan. Rada lumayan, ana rongpuluh yuta. Rencanane sesuk aku arep ngajak kowe menyang toko mas golek ali-ali cilik-cilikan. Nanging…”

Prapto mbaleni sepisan meneh apa kang wis dicritakake menyang Slamet. Banjur ndhingkluk, ora wani nyawang raine Murni. Ora kuwat yen kudu weruh katresnane kuciwa.

“Oalah Mas…”

“Aku njaluk ngapura tenan, Mur. Aku ora ngira bisa kena kedaden kaya ngene. Kowe kelingan ta, aku nate kandha, crita-crita wong kena gendam kuwi mung ngarang.”

“Mas… kok sampeyan isa mikir kaya ngono. Wong kena alangan kok diarani ngarang…”

“Hayo kuwi Mur. Mbok menawa aku kena omonganku dhewe. Saiki malah aku sing ngrasakke…”

Murni ngelus-elus gegere Prapto. Ora kandha apa-apa.

“Aku njaluk ngapura tenan…”

“Iya-iya  Mas, ora usah bola-bali ngomong ngono. Piye meneh wong wis kedaden. Dudu salah sampeyan…”

“Jare Slamet kuwi salahku. Aku ngalamun merga seneng rumangsa nduwe dhuwit akeh, trus mbayangke nyeneng-nyenengke awakmu….”

Murni ngrangkul bojone kanthi tresna, “Maturnuwun wis sampeyan pikirke semono Mas. Ning yen dhuite saiki ilang, ya ora kena ditangisi. Suk maneh wae kudu luwih ngati-ati.”

“Kowe ora nesu Mur?”

“Ora….”

“Aku saiki ora duwe celengan babar blas. Mung telung ewu mangatus….”

“Lha kuwi duwe celengan telung ewu mangatus!” Murni ngguyu bungah sajak krungu celengane Prapto telung puluh lima yuta.

Prapto mung bisa mesem nyawang bojone sing tansah nrima, nadyan dheweke lagi kere sak kere-kerene.

Oalah Met, iki lho, bojoku tak waduli dhuitku amblas isih tetep ngambungi….

***

“Nyoh! Wis ya. Lunas.”

“Hehe… ya ya ya. Maturnuwun Prap. Seneng yen urusan bisnis lancar kaya ngene iki.”

“Lancar gundhulmu! Aku bangkrut!”

“Lha kuwi jenenge resiko! Wong bisnis ki bisa bathi bisa cotho!”

“Kowe bathi aku sing cotho!”

“Iki kan lagi sepisan… jane wingi kowe sempat bathi sepuluh yuta ta?”

“Sedhela, sakdurunge mbok glembuk supaya bathine pindhah menyang tanganmu.”

“Ora kena nyalahke kancane…, sing mutuske arep mandheg utawa terus ki kowe dhewe. Ya jajal kapan-kapan dibaleni meneh, sapa ngerti awake dhewe padha bathine,” Ranto kandha sinambi drijine ngetung dhuit sing ditibakke Prapto.

“Ora sudi! Wis cukup aku urusan karo kowe. Aja nganti mbaleni.”

Prapto mungkur tanpa pamit. Rasa salah kang ngantebi pundhake wis ora tanggung-tanggung. Dheweke kudu ngapusi Slamet, ngapusi Marni. Ethok-ethok kena gendam, kanggo nyaur utang kalah main karo Ranto bandar dhadhu bajingan.

 

Semarang, Mei 2016

Kuis: Pembantu Oh Pembantu.

image1

Pagi ini dengan mengucap bismillah aku berangkat menuju sebuah desa di lereng gunung Sumbing. Tujuanku adalah menemui mantan pembantuku. Ada tiga orang di sana. Ketiganya keluar karena akan menikah. Aku berharap bisa bertemu setidaknya salah satu. Aku butuh bantuan. Mencari pembantu.

Karena pembantu yang sekarang, yang sudah lebih dari delapan tahun bertahan, minta ijin berhenti bekerja. Bukan. Bukan karena akan menikah juga. Tapi karena dia pengin istirahat bekerja. Alasan yang mungkin terdengar absurd. Tapi bagiku tidak. Ya. Karena aku sudah terbiasa dengan keabsurdannya….

Sudah hampir sepuluh tahun aku tidak mengambah desa itu. Banyak yang berubah. Jalan-jalan yang dulu makadam berubah jadi aspal atau rabat beton. Banyak rumah yang dulu gubug menjadi tembok. Tapi aku masih mengenali rumah Mbak Tin dan Mbak Nay. Pertama aku mengunjungi Mbak Tin. Anaknya sudah dua. Perempuan semua.

Setelah kangen-kangenan beberapa saat, aku menyampaikan maksud kedatanganku.

“Oh. Sebentar. Siapa ya Bu, dekat sini yang bisa diajak…”

Lalu dia teringat ada seorang. Aku diminta tinggal di situ, dia mau mendatangi seorang yang mungkin mau. Beberapa menit kemudian dia kembali.

“Ada Bu. Tapi anaknya hari ini sedang pergi bekerja ke kota. Kata ibunya, untuk kepastiannya nunggu dia pulang nanti sore.”

Itu. Agak sulit. Aku harus pulang sebelum sore, agar tidak kemalaman tiba di rumah. Jadi aku pesan saja nanti supaya ditanyakan, dan aku dikabari hasilnya lewat telepon.

Lalu kami berdua mengunjungi rumah Mbak Nay. Mbak Nay juga sudah punya dua anak. Ih, gemes.

“Adik saya bisa diajak Bu. Dia lagi cari kerja.”

Karena Mbak Tin sudah nembung ke tetangganya, Siti, dia minta adik Mbak Nay untuk menunggu keputusan Siti nanti sore. Kalau Siti tidak bisa, baru tawarkan kesempatan ke adiknya. Kami sepakat.

Lepas dhuhur aku pulang. Di perjalanan, Mbak Nay menelpon, “Ibu, kata suami saya, Siti itu kurang baik. Sebaiknya jangan dia.”

Hm. Aku menduga Mbak Nay berkata begitu karena ingin adiknya yang diajak. Demi menghargai Mbak Tin, aku bilang, “Kita lihat nanti ya Mbak. Nanti aku cek lagi ke Mbak Tin.”

Belum lagi sampai di rumah, Mbak Tin menelpon. Siti mau.

Antara ingin bilang alhamdulillah atau astaghfirullah. Jaman sekarang cari pembantu bukan hal gampang. Jika ada yang mau, dengan keadaan yang sudah terlebih dulu kuceritakan, itu anugerah. Tapi aku teringat kata-kata Mbak Nay.

“Oke Mbak Tin. Aku ingin memastikan Siti benar-benar mantap dan bukan coba-coba. Supaya aku tidak repot musti cari-cari lagi kalau dia nanti tidak kerasan.”

Mbak Siti menelpon aku sendiri. Meyakinkan bahwa dia sudah mantap. Dan siap dijemput kapan saja.

Aku mengabari Mbak Nay lewat SMS. Minta maaf karena tidak bisa menerima adiknya bekerja. Mendoakan adiknya segera dapat bekerja di tempat yang baik.

“Ya Bu. Ndak papa. Tapi nanti Ibu tolong hati-hati ya.”

Kenapa?

Suami Mbak Nay menelpon. Dia minta maaf, menjelaskan bahwa dia bukan bermaksud menyodor-nyodorkan adik istrinya dan menghalangi Siti. Tapi menurut anak-anak muda di sekitar rumah mereka, Siti itu. Nganu. Suka mengambil yang bukan miliknya.

Oh. Ini adalah kabar yang paling tidak ingin kamu dengar tentang seorang (calon) pembantu. Mendadak aku ingat meme tentang memercayakan dompet dan anak pada pembantu. Sialan.

Okay. Jadi harus ada yang dipikirkan lagi.

Malam sebelum Isya, Siti SMS lagi.

Bu, sy dijemput bsk pagi ya, biar sy tdk usah kerja d krtk lg.

Oh, maaf Mbak, kalau besok pagi ga bisa. Aku kerja, Bapak juga harus  keluar kota. Kamu kerja aja dulu seperti biasa. Nanti kalau mau jemput aku kabari.

Ya bu. Tp kl bs secepatnya ya.

Lha kenapa to Mbak, kok buru-buru?

***

Sampai bangun pagi hari ini Siti belum menjawab pertanyaanku. Kenapa dia sebegitu ingin secepatnya berangkat bekerja di rumahku? Sementara aku masih belum tahu harus bagaimana.

Menurutmu, aku harus bagaimana?

==============================

Tinggalkan komen pendapat Anda. Salah satu komen menarik berhak mendapatkan sebuah souvenir menarik dari Malaysia seperti ilustrasi di atas. Expired by 9 June 2016. Terima kasih!