Kereta bergerak pelan meninggalkan stasiun awal, sedikit demi sedikit menambah kecepatan. Besok pagi sekitar waktu subuh dia akan berhenti di stasiun akhir. Aku akan punya sedikitnya empat jam sebelum pertemuan yang dijadwalkan. Dan tentu saja semalaman di atas kereta untuk memikirkan apa yang akan kulakukan. Karena aku tahu sekeras apa pun aku mencoba, atau sesantai apa pun, aku tidak akan bisa tidur.
Satu stasiun terdekat terlewati. Aku senang bisa melewatkan waktu dengan berlambat-lambat menyantap nasi ayam cepat saji yang kubeli sebelum naik ke gerbong. Kali terakhir aku naik kereta, menu yang ditawarkan oleh petugas resto menyedihkan. Terpaksa kutelan. Sebagian karena lapar, dan sisanya karena ibuku selalu mengingatkan untuk tidak membuang makanan.
Sekarang apa?
Membuka ponsel. Main game. Cek sosmed di jam yang mulai sepi. Mataku lelah. Membuka buku tidak membantu. Bagaimana kau berharap bisa tidur dengan lampu yang begini benderang? Kupejam mata dan kututup pula dengan selimut. Derak roda kereta di atas rel terdengar seperti suara semen pembungkus ingatan di kepala yang meretak. Tidak. Jangan sekarang. Jangan pernah.
***
“Selamat pagi,” bisikmu lirih.
Tirai jendela sedikit terbuka, membiarkan sebagian sinar matahari mengurangi kegelapan di dalam kamar.
“Masih ngantuk?”
“Hmm…”
“Kamu mau sarapan sekarang apa nanti?”
“Bisa nggak sih kamu nggak usah mikirin mau makan apa? Di bawah banyak orang jual makanan.”
“Aku ndak mau kamu kelaparan.”
“Aku nggak gampang lapar.”
“Mungkin kamu harus kukuras sekali lagi….”
***
Stasiun ketiga. Aku lapar. Gerbong resto hanya berjarak satu gerbong. Tapi membayangkan menunya malah bikin perutku makin sedih. Aku minum beberapa teguk teh manis kemasan botol paketan nasi ayam tadi. Kutekan bantal ke perut agar terasa hangat. Ibu di sebelahku punya keripik kentang yang diselipkan di kantong kursi. Tidurnya nyenyak. Kalau kuambil apa dia akan terbangun?
Uhm. Kantong plastik dan keripik kentang adalah makhluk yang berisik. Aku memilih memejamkan mata lagi.
***
Bunyi Microwave selesai memanaskan lauk. Dia sibuk. Dan aku hanya duduk menikmati teh yang sudah lebih dulu diseduh.
“Aku mau bantu nyiapin sarapan.”
“Ini sudah hampir selesai kok. Nasinya sudah matang. Tinggal mindahin lauk ke mangkok.”
Aku turun dari kursi membuka kulkas.
“Cari apa?”
“Siapa tahu kamu menyimpan perempuan lain di sini.”
Dan aku dapat kecupan kecil di pipi.
Aku menemukan mangga. Kukupas dan kupotong sebisaku.
“Nggak rapi motongnya. Kalau kamu terganggu jangan lihat. Merem aja. Kalau mau makan nanti aku suapin,” kataku.
Tapi dia meraih garpu dan mulai makan sepotong demi sepotong.
***
Stasiun keempat baru saja dilewati. Sepertinya aku sempat tertidur sebentar. Lumayan. Duduk dalam keadaan sadar – dan sesekali terlelap – selama berjam-jam sungguh tidak nyaman. Bahkan dengan reclining seat, selimut dan bantal. Harusnya aku bawa bantal leher. Mungkin bisa bikin lebih nyaman. Mungkin juga tidak.
Aku berdiri meluruskan punggung dan kaki. Berjalan ke toilet bukan karena ingin buang air kecil, hanya karena supaya sendi-sendiku bergerak. Semua penumpang diam. Tidur. Satu dua sibuk dengan ponsel. Kau tahu. Walaupun sebenarnya tidak ingin kencing, tapi begitu masuk ke toilet, kecuali toiletnya jorok, kandung kemihmu otomatis mengendorkan sumbat.
Aku sengaja berdiri di bordes sebentar sebelum kembali ke tempat duduk. Ibu di bangku sebelah belum berubah letak.
***
“Aku mau beli microwave untuk di rumah.”
“Beli lah.”
“Jadi aku bisa beli makanan beku-bekuan, atau beli di warung sore hari. Pagi tinggal manas-manasin.”
“Atau kamu bisa menyimpan sisa masakan di freezer dan dimakan lagi beberapa hari kemudian supaya ndak bosan.”
“Aku beli microwave supaya nggak perlu masak.”
Dia tersenyum melanjutkan makan.
“Makanan di pesawat itu nget-ngetan bukan?”
“Iya.”
“Dipanasi pakai microwave juga?”
“Iya.”
“Kok nggak enak?”
“Bukan microwave yang bikin masakan enak atau ndak enak. Tapi tergantung apa yang dimasukkan.”
“Semua yang kamu masukkan ke microwave enak.”
“Karena aku yang masak.”
“Boleh nggak aku tinggal di sini terus?”
***
Kereta melambat memasuki stasiun kelima. Hari sudah hampir pagi. Aku belum tahu apa yang akan kulakukan sesampai di stasiun akhir nanti. Aku kesal dengan ingatan yang merembes dari kepalaku sepanjang perjalanan.
Kuraih ponsel yang sudah kudiamkan semalaman. Aku tidak tahu ini ide bagus atau bukan. Aku bahkan tidak yakin pesan ini akan sampai. Atau diperhatikan.
hai. aku perjalanan ke kotamu. satu stasiun lagi. aku harus menunggu sampai pukul sepuluh. mungkin kamu mau menemani aku sarapan di stasiun.
***
“Maaf ya, aku tidak bisa mengantar ke bandara.”
“Iya. Gapapa.”
“Nanti aku temani menunggu taksi di bawah.”
“Iya.”
“Barang-barangmu sudah siap?”
“Sudah.”
Aku memeluk dia sekali lagi. Tidak ingin kulepas. Aku tidak ingin beres-beres. Aku tidak ingin pergi dari sini. Dia melepaskan pelukanku pelan.
“Boleh aku tinggalkan sikat gigi di sini?” tanyaku.
“Tentu. Akan kusimpan supaya kamu tidak perlu bawa lagi kalau mau ke sini.”
“Kamu ingin aku ke sini lagi?”
“Aku menanti kamu ke sini lagi.”
***
Perjalanan hampir berakhir. Sebentar lagi kereta memasuki stasiun terakhir.
Seperti takut kehabisan waktu, segala kenangan tumpah sekaligus. Malam-malam. Dan pagi-pagi. Dan siang-siang. Semua waktu yang terlewati bersama. Berulang. Seperti tak ingin henti. Namun tiba-tiba hilang.
Tidak ada penjelasan. Pesan-pesan yang sampai tapi tak terbalas. Panggilan-panggilan yang tidak berjawab. Pertanyaan-pertanyaan yang terabaikan. Pernah terpikir untuk tiba-tiba saja datang, apa pun yang kutemui aku sudah siap dengan jawaban, ‘saya mau ambil sikat gigi.’ Tapi tidak pernah kulakukan. Setelah beberapa bulan akhirnya aku berhenti. Menyumpahi sikapnya yang kuanggap pengecut. Menghibur diri dengan bersyukur bahwa aku dijauhkan dari laki-laki brengsek. Tapi tentu saja aku sadar aku membohongi diri sendiri. Tangis yang tersembunyi itu butuh waktu sangat lama untuk berhenti.
Kereta berhenti. Sebuah pesan masuk.
Aku tunggu di pintu keluar utara. Kamu bisa mandi dan istirahat di apartemen sambil menunggu acaramu mulai.