Pukul 06.08.59.
Dunia berputar seperti biasa. Orang-orang bergerak seperti tidak akan terjadi apa-apa. Matahari masih terbit di pagi hari, setelah dibangunkan oleh kokok ayam jago milik Wak Adul. Bi Rum masih berjualan bubur sayur di teras rumahnya yang reyot. Si Kembar Utin Itin masih berangkat sekolah sambil bergandeng tangan dan berjalan setengah melompat riang.
Mereka tidak tahu detak-detak yang kuhitung mundur sejak enam jam delapan menit lima puluh sembilan detik yang lalu. Jam dinding doorprize jalan sehat 17-an dua tahun yang lalu masih bekerja dengan baik dan akurat, baru dua kali ganti baterai. Gambarnya yang pudar mendadak menggambar wajah entah lelaki entah perempuan, muram namun keras dan mengintimidasi. Setiap detak jarumnya mengingatkan aku untuk bersiap. Aku keluar rumah dan berjalan dengan langkah sewajar mungkin. Tersenyum sekilas pada ibu kosku, Tante Lusi, yang berjemur sambil memangku Dudung, kucingnya. Aku tidak ingin terlihat mencurigakan.
Saatnya segera tiba. Kuperiksa lagi ranselku. Memastikan benda itu sudah berada di sana dengan aman. Aku sudah merancangnya berhari-hari dengan teliti. Kusimpan dengan hati-hati, jangan sampai salah kejadian karena keteledoran. Di angkutan umum aku memilih duduk tidak berdesakan dengan penumpang lain. Ranselku tidak boleh terhimpit sembarangan.
Pukul 07.23.42.
Matahari mulai tinggi. Udara mulai panas. Jalanan sibuk oleh lalu lalang kendaraan dan manusia berbagai bentuk dan ukuran. Aku melebur di keramaian meredam detak jantung yang semakin tidak karuan. Kulangkahkan kaki mendekat ke kafe yang kutuju. Perlahan membuka pintu. Masih sepi. Hanya ada beberapa pengunjung di beberapa meja tersebar.
Aku mendekat ke bar. Sang barista berhenti menggoyang shakernya. Matanya menatap tajam padaku. Hampir saja aku berhenti karena kehilangan tenaga. Tapi aku berhasil menguasai diri dan tetap berjalan menujunya.
Kuletakkan ranselku di lantai. Kubuka perlahan dan kukeluarkan box yang sudah kusiapkan tadi pagi.
“Selama bertahun mengerjakan hal ini untuk banyak orang, aku tidak pernah mencurahkan tenaga pikiran sebanyak untuk yang satu ini. Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Aku tidak pernah menganggap salah, perempuan bicara duluan. Aku akan terima apa pun sikapmu setelah ini. Tapi aku tidak mau hanya terus menunggu dan menyiksa diri.”
Kusodorkan box itu. Dia membuka tanpa kata-kata. Sebuah kue ulang tahun berbentuk kamera DSLR sedetilnya, karena kutahu selain kopi dia juga penggila fotografi.
“Selamat ulang tahun, Bar. Aku mencintaimu. Bolehkah aku menjadi kekasihmu?”
====================
Postingan yang terlambat untuk ulang tahun ke-3 Monday Flash Fiction