Rumit (1)

Aku menatap deretan angka bercampur huruf dan tanda operasi yang ada di kotak formula. Setiap kode berwarna sesuai sel yang ditulis. Tapi ada lebih dari sepuluh warna sekunder yang bertumpuk-tumpuk…

Belum lagi rumus ini berkaitan antar sheet. Sheet pertama akan menjadi dasar untuk pengolahan di format sheet kedua. Jumlah total setiap kolom di kedua sheet harus sama. Rumus beginian bisa jadi rumus sampah. Sel manapun yang kamu masukkan, dia tidak akan peduli sepanjang operasional matematikanya benar. Masuk sampah keluar sampah. Karena itu aku harus betul-betul teliti memasukkannya.

Ini benar-benar hal yang baru buatku. Bukan program yang digunakan. Aku sudah sering pakai excel, tapi barang yang dikerjakan. Aku baru seminggu berada di bagian ini, sama sekali belum mengerti proses dan alurnya. Juga bagaimana cara perhitungannya. Untung Yessy, yang memegang pekerjaan ini sebelumnya, dan sekarang pindah ke bagian lain, mau berbaik hati memberi sedikit penjelasan asal-usul rumus yang dia bikin.

“Kamu lihat yang unsurnya sedikit aja dulu mbak, misalnya ini”, dia mengklik satu rumus yang hanya melibatkan dua input.

“Intinya kamu harus menghitung bobot masing-masing kegiatan dengan memprosenkannya terhadap jumlah total duit setiap program. Bobot itu kamu kalikan dengan pencapaian masing-masing kegiatan. Di sini keduanya aku gabungkan supaya tidak kebanyakan kotak hitungan”

Aku mengangguk-angguk melihat jarinya menunjuk ke sel-sel penyusun rumusnya.

“Tanda dollar ini, kamu tahu maksudnya?”

“Mengunci?”

“Kamu tahu?”

“Dari dulu aku tahu”

“Sip, kalau begitu kamu pasti cepet paham hitungan ini. Aku sendiri baru tahu waktu mulai pekerjaan ini, diajarin Arif. Nah, semua sudah aku bikin rumusnya kok, kamu tinggal masukin angka.”

Aku mengangguk. Yessy pergi, “Selamat bekerja”

***

Kubolak-balik lagi berkas kiriman instansi yang harus kumasukkan angka-angkanya ke dalam laporan. Begitu banyak angka di sini. Siapa sih yang menyusun format laporan ini? Benar-benar memabukkan siapa pun yang mengerjakan. Mungkin tidak bagi pelaksana program yang hanya menyusun laporan program yang mereka pegang saja. Tapi mengolah data mereka semua menjadi satu? Lima puluh sembilan instansi?

Aku mendekati Pak Romi dan bertanya tentang angka mana yang disebut R, S, F, K… Bukan karena apa-apa aku bertanya padanya. Hanya karena memang mejanya dekat dengan mejaku. Entah dia malas, atau dia menganggapku pintar, dia menjelaskan sambil lalu. Lumayan. Berbekal itu dan seharian memelototi lagi laporan tiga bulanan sebelumnya, aku jadi benar-benar paham.

OK.

Satu berkas kutarik, dan mulai bekerja. Kubuka, lalu aku melirik sebentar ke mejaku. Masih setumpuk lagi menunggu. Ini baru awalnya…

***

Mbak Eva berjalan mendekatiku, melihat aku bekerja.

“Kamu kasih tanda apa yang sudah kamu kerjakan?”

“Semua aku blok merah. Yang sudah aku kerjakan aku hitamkan”

Dia mengulurkan flashdisk padaku, “Copykan file-nya buatku”

Aku mengambil flashdisknya dan mencopy file yang baru aku kerjakan. Begitu selesai dia langsung mencabutnya, dan menghampiri mejaku.

“Berkas-berkasnya, yang mana yang sudah kamu kerjakan?”

Kuletakkan berkas yang aku kerjakan di meja computer, lalu berdiri di sampingnya.

“Yang di map ini sudah aku kerjakan”, kataku sambil menunjuk map berwarna kuning, “yang ini belum” lanjutku sambil menunjuk tumpukan yang lebih tinggi di sebelahnya.

Mbak Eva mengangkat tumpukan yang lebih tinggi dan membawanya ke mejanya sambil berkata, ”Biar aku kerjakan”

Apa maksudnya? Aku bingung. Pak Irwan, atasanku memerintahkan aku mengerjakannya. Sekarang tiba-tiba Mbak Eva mengusungnya dan berkata dia yang akan mengerjakannya. Pak Irwan belum memberitahuku apakah memang harus begitu atau tidak. Dan aku hanya bisa bengong melihatnya berlalu.

Sesaat aku hanya berdiam di samping mejaku. Pura-pura sibuk membuka lagi tumpukan berkas yang sudah kusilang dengan pensil, tanda dia sudah kuinput. Tapi dalam benakku aku masih bertanya-tanya tentang tindakan Mbak Eva.

Akhirnya kuputuskan untuk menyelesaikan berkas yang sudah terlanjur kupangku. Kurasa Mbak Eva kasihan melihatku, anak baru harus mengerjakan pekerjaan berat itu. Mungkin dia akan membantu menginput sebagian, dan nanti tinggal menggabungkan hasil kerja kami di akhirnya. Begitu memang akan lebih cepat selesai.

Kalau benar begitu, berarti dia baik hati sekali. Tapi kenapa nada bicaranya dingin, angkuh, sok, dan berkesan menyepelekan? Ah, mungkin itu cuma gaya bicara. Siapa yang tahu bagaimana dia sebenarnya?

*ada sambungannya, tapi dikit kok :D*

3 thoughts on “Rumit (1)

  1. Pingback: » Rumit (2) random thoughts of La

Leave a reply to mysepty Cancel reply